Sopir Truk MInta Bayaran Rp 10 Juta, Bantuan pun Tak Terangkut
    IND | ENG

Sopir Truk MInta Bayaran Rp 10 Juta, Bantuan pun Tak Terangkut

By : Hana 19 Januari 2005 News Categori : Berita

Rabu, 19 Januari 2005, 15:51 WIB -Berita Umum- Sopir Truk Minta Bayaran Rp 10 juta, Bantuan pun Tak Terangkut Reporter: Cut Ida - Lhokseumawe Puluhan truk bercat putih dengan logo palang merah bulan sabit hari Selasa (18/1) siang masih parkir di areal Pelabuhan Umum Krueng Geukueh, Aceh Utara. Truk yang berisi bahan makanan, peralatan medis, dan obat-obatan itu sejatinya akan menuju ke Banda Aceh dan Meulaboh untuk mensuplai kebutuhan pengungsi korban gempa dan tsunami di sana. Tapi truk-truk berisi bahan bantuan dari Denmark dan Norwegia tersebut belum bisa berangkat karena tidak ada sopir. Padahal, bantuan itu sudah ada di sana sejak Jumat (14/1) lalu. Apa pasal? Seorang warga asing bertelanjang dada dan celana pendek, tampak membuka penutup truk dan mengeluarkan sebagian isinya. Lelaki itu terlihat sibuk sekali, sementara beberapa warga lokal asyik menonton. Menurut informasi, para “penonton” itu lah sopir-sopir yang akan digunakan untuk menyuplai bantuan kepada pengungsi di Banda Aceh dan Meulaboh.. “Sebenarnya sopir banyak. Setelah dites, banyak yang tidak memenuhi standar. Yang kurang layak pun terpaksa digunakan karena sopir lain tidak ada. Kalaupun ada, mereka minta gaji sampai Rp 10,5 juta per bulan. Padahal, relawan yang menjadi sopir dari Norwegia itu mengaku hanya mendapatkan Rp 3 juta sebulan,” cerita Syahruddin Hamzah, Wakil Ketua Posko Penerimaan Bantuan di Pelabuhan Krueng Geukueh. Sepintas, cerita Syahruddin memang membuat kita mengurut dada. Bayangkan, para sopir itu sepertinya tak mau mengalah demi nasib saudara-saudaranya yang sedang tertimpa musibah, dan malah ingin mengambil kesempatan mengeruk untung. Tapi soal tidak memenuhi standar? Mereka jelas mengantongi Surat Izin Mengemudi (SIM), bahkan kategori B-2 untuk kendaraan angkut kelas berat. Mereka juga mempunyai pengalaman menjadi sopir truk antardaerah bahkan antarpulau. Lalu mengapa Syahruddin menyatakan mereka tidak memenuhi standar hanya untuk membawa truk ke Banda Aceh? O ala... inilah masalahnya. Truk-truk bantuan yang didatangkan dari Eropa tersebut memiliki setir di sebelah kiri, sementara truk di Indonesia bersetir kanan. Ditambah ‘etika menyetir’ di jalanan, mungkin orang-orang Skandinavia itu miris menyerahkan truknya. Tapi di luar itu, kendala utama memang permintaan gaji yang mencapai Rp 10,5 juta untuk waktu sebulan itu. “Sekarang susah, semua yang berbau asing dikira banyak uang. Padahal mereka jauh-jauh datang ke mari untuk menolong kita, rakyat Aceh. Tapi kita sendiri malah tidak mau menolong saudara. Masa minta gaji sampai Rp 10,5 juta. Padahal tanpa digaji pun kita harus mau karena ini bagian dari amal. Kapan lagi menolong saudara yang tertimpa musibah kalau bukan sekarang. Orang lain sudah menolong dengan harta benda atau apa pun yang mereka miliki. Kalau kita bisa menolong dengan tenaga, kenapa tidak,” tutur Syahruddin yang mengaku tidak mendapat bayaran sepeser pun dalam bertugas di pos komando, bahkan ia sering nombok. Memang ada saja yang membuat perhitungan untung rugi di tengah bencana. Para sopir yang minta gaji tinggi itu bisa jadi hanya segelintir orang yang tidak mencerminkan sikap para sopir secara keseluruhan. Tapi tak hanya sopir yang bersikap seperti itu. Buruh bongkar muat barang pun tidak mau ketinggalan memasang tarif tinggi. Bila ongkos bongkar atau muat tidak sesuai permintaan mereka, tak jarang mereka menolak. Padahal biasanya mereka ‘tak banyak tingkah’ karena memang pekerjaan yang bisa dilakukan sangat terbatas. Kalau tawar-menawar sudah macet, terpaksalah para relawan memberikan “ceramah” panjang lebar tentang misi kemanusiaan. Seperti diakui Syahruddin, banyak biaya yang harus dikeluarkan agar bantuan itu sampai kepada pengungsi. Selain ongkos bongkar muat dari kapal ke truk, juga ada biaya bongkar muat dari truk ke gudang karena tidak semua bantuan bisa disalurkan langsung ke titik pengungsian. Setelah itu, ada lagi biaya muat ke dalam truk setelah disimpan dalam gudang. Bila bantuan sudah sampai ke titik pengungsian, jangan berpikir tidak ada lagi biaya yang harus dikeluarkan. “Terkadang kami harus membayar biaya bongkar barang. Tapi yang mengerjakannya para pengungsi sendiri sehingga kegiatan itu bisa membantu mereka. Banyak juga pengungsi yang tidak meminta bayaran karena barang itu memang disalurkan untuk mereka sendiri,” ujar Sekretaris Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Utara, Usman Ishak. MEMASUKI minggu keempat pascamusibah gempa tsunami, bantuan dari dalam dan luar negeri terus mengalir. Ada bantuan yang dikirim melalui jalan udara, darat, dan ada yang melalui jalur laut. Sebagai daerah yang memiliki pelabuhan yang bisa dirapati kapal-kapal besar, Aceh Utara menjadi salah satu pintu masuk distribusi bantuan melalui laut. Dari sana, bantuan akan disalurkan ke sekujur wilayah Aceh. Antusias masyarakat Indonesia dan internasional dalam menyumbang memang sangat mengharukan. Seperti disaksikan acehkita saat dua kapal membongkar muatan di Pelabuhan Krueng Geukueh, Selasa (18/1) siang. Satu unit kapal besar memuat pakaian bekas yang tidak habis-habisnya dibongkar. “Sumbangan seperti ini setiap hari masuk. Kami tidak sanggup lagi menampungnya. Dua gudang yang kami pinjam, milik PT Pusri dan PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) sudah penuh,” kata Murtala, petugas di Posko Penerimaan Bantuan Pemda Aceh Utara. Akibatnya, tak semua bantuan pakaian itu bisa langsung disuplai ke titik-titik pengungsian. “Karena itu kami mengharapkan bantuan yang diberikan kalau bisa tidak lagi berupa pakaian karena sudah terlalu banyak. Kami pun kekurangan tempat untuk menyimpannya. Kalau bisa, bantuan berupa sembako atau obat-obatan. Tapi ini jangan diartikan kami tidak mensyukuri apa yang telah disumbangkan,” tambah Syahruddin yang pernah menjadi anggota DPRD Aceh Utara. Keluhan berbeda memang terdengar di lokasi pengungsian, baik di Aceh Utara maupun di Lhokseumawe. Mereka menilai bantuan yang mereka terima saat ini jumlahnya sangat terbatas. Bahkan air mineral yang di pelabuhan sampai tumpah berserakan karena sembrono dalam pengangkutan, dijatah dengan sangat terbatas untuk pengungsi, seperti yang mereka akui setiap hari kepada wartawan. “Kami hanya menerima Indomie dengan segelas air mineral,” kata seorang pengungsi di Pusong, Lhokseumawe. Keluhan senada juga disampaikan pengungsi di rumah sakit Cut Meutia dan Tanah Pasir, Aceh Utara. “Tidak mudah mengurusi puluhan ribu orang yang baru saja kehilangan harta dan nyawa keluarganya. Kita tidak bisa memuaskan semua pihak kendati sudah berbuat maksimal. Pasti ada saja yang kurang,” sahut Marzuki Yunus, staf Hubungan Masyarakat di Pemerintah Kota Lhokseumawe, saat dikonfirmasikan masalah tersebut. Sejauh ini semangat masyarakat untuk menyumbang memang masih tinggi. Tapi tentu saja kondisi itu tidak akan berlangsung selamanya. Suatu saat nanti kejenuhan bisa saja muncul. Dan kalau sudah sampai ke sana, entah bagaimana nasib pengungsi Aceh. [dan] Sumber: Pena Indonesia

© Airputih.or.id. All rights reserved.