Sistem Informasi Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang
    IND | ENG

Sistem Informasi Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang

By : Hana 09 Agustus 2006 News Categori : Uncategorized

Rabu, 09 Agustus 2006 11:05:41 Sistem Informasi Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang Kategori: Teknologi Informasi (116 kali dibaca) Oleh : Dahlan Nariman Pendahuluan Di akhir tahun 2004, seluruh dunia berduka oleh gempa Aceh dan tsunami yang melanda negara-negara sepanjang lautan India, sehingga peringatan tahun baru 2005 layak tidak diucapkan dengan Happy New Year 2005, namun dengan Unhappy New Year 2005. Dalam catatan sejarah modern, gempa ini menjadi gempa dan tsunami yang telah memakan korban nyawa ummat manusia terbesar. Ditambah lagi dengan hancur leburnya bangunan fisik sendi-sendi kehidupan berupa jalan, rumah tinggal, tempat peribadatan, sekolah, rumah sakit dan bangunan-bangunan sarana umum lainnya. Hampir seluruh ekosistem di darat dan laut yang terkena empasan air bah tsunami mengalami perubahan dan kerusakan parah (Kompas, 4 Jan 2005). Indonesia tsunami info dalam websitenya merilis bahwa total korban meninggal tertanggal 10 Februari 2004 mencapai 220.940 orang, terdiri dari 166.320 orang di Indonesia, 38.195 orang di Srilangka, 10.744 orang di India, dan 5.305 orang di Thailand. Bahkan, korban meninggal juga tercatat di negara-negara Afrika yang letaknya ribuan kilometer dari pusat gempa namun menghadap ke arah samudra india seperti Tanzania, Kenya, Afrika Selatan dan Madagaskar. Banyak ahli memperkirakan, bahwa besarnya korban terjadi akibat besarnya kekuatan gempa itu sendiri, yang diperkirakan melebihi 9 skala Richter (SR). Selain faktor ganasnya tenaga alam tersebut banyak ahli yang menuding bahwa, faktor tidak adanya perangkat dan sistem informasi yang menyampaikan akan datangnya bahaya tsunami ke setiap negara, memberi andil yang besar meluasnya jumlah korban. Peneliti gempa dan tsunami Prof. Yuichi Morita dari Universitas Tokyo sebagaimana yang dimuat dalam Kyudo Tsushin tanggal 27 Desember 2004 memberi statement, bahwa besarnya jumlah korban dan luasnya wilayah yang terkena dampak tsunami gempa aceh ini akibat tidak adanya sistem yang terintegrasi dalam memberikan informasi tsunami antar negara di samudera india. Misalnya, walaupun orang-orang Srilanka mengetahui telah terjadi gempa aceh, mereka tidak mengira bahwa tsunami akan datang ke wilayahnya, sehingga mereka tidak melakukan antisipasi. Dari gempa yang disertai tsunami ini, negara-negara asia tenggara dan selatan mulai tergugah pentingnya sistem peringatan bahaya tsunami di negaranya masing-masing. Belum seminggu tsunami berselang negara-negar Malaysia dan Thailand telah berkoar mengumumkan pembangunan sistem peringatan tsunami di negaranya, dengan mengadopsi sistem dari Jepang. Kemudian dalam Konferensi International yang dikenal dengan The United Nations World Conference on Disaster Reducation (WCDR) yang diselenggaran di Kobe pada tanggal 18 s/d 22 January 2005 bersamaan dengan peringatan 10 tahun gempa Kobe, memberi sinyalment tentang pentingnya sistem terintegrasi peringatan dini suatu bahaya alam seperti tsunami. Salah satu keputusan penting konferensi ini adalah, bahwa negara-negera maju akan ikut serta dalam membantu terbentuknya system terintegrasi peringatan bahaya tsunami di negara-negara lautan India. Kemudian, Jepang bersama-sama Amerika dipercaya sebagai tulang punggung persiapan pembentukan sistem tersebut. (Nikkei Net, 23 Jan 2005) Seperti apakah system terintegrasi peringatan bahaya yang dimiliki Negara Jepang ini, sehingga negara ini sering menjadi acuan negara-negara lain? Dalam tulisan ini penulis mengajak mencoba mengenal lebih jauh sistem peringatan bahaya tsunami di Jepang. Gempa Bumi dan Lahirnya Sistem Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang Dalam masalah gempa dan tsunami, antara Jepang dan Indonesa memiliki banyak kemiripan. Kedua negara ini merupakan negara kepulauan yang menjadi tempat pertemuan lempeng besar permukaan bumi. Jepang dibelah oleh lempeng Eurasia di barat, lempeng pasifik di timur dan lempeng Philipine di Selatan. Sementara wilayah Indonesia di sepanjang barat pulau sumatra sampai selatan pulau Jawa dan Nusa Tenggara dibelah oleh lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Sementara Maluku dan Papua menjadi tempat pertemuan lempeng pasifik dan Eurasia. Sepanjang pulau-pulau di kedua negara ini sebagian besar juga dipisahkan oleh palung palung besar dan kecil yang suatu saat bisa runtuh dan menimbulakn gempa. (Sumber: Website Department of Earth and Planetary Physics, The University of Tokyo, http://www.eps.s.u-tokyo.ac.jp/) Laporan dari United Nation Development Programme (UNDP) tentang Natural Disaster Risk Reducation, yang dirilis Agustus 2004 mencatat, bahwa berdasarkan catatan gempa tahun 1980 s/d 2003, gempa dengan kekutan 5,5 SR keatas paling banyak terjadi di China, Indonesia, Iran, Jepang, Afganistan kemudian Turki. Indonesia menempati posisi dua dunia setelah China dengan rata-rata frekwensi gempa 5,5 SR keatas 1,62 kali pertahun. Sementara Jepang dalam posisi ke empat dengan frekwensi 1,14 per tahun. Dari negara-negara dunia yang memiliki top score frekwensi terjadinya gempa dahsat tersebut, Jepang dipandang paling memiliki system peringatan bahaya termaju di dunia. Sistem canggih ini dicapai rakyat Jepang lewat liku-liku yang pedih dalam sejarah gempa dan tsunami di negaranya. Sejak tahun 1700-an, sejarah jepang telah mencatat terjadi beberapa gempa besar yang disertai dengan gelompang air bah tsunami. Misalnya: Genryoku daijisin, gempa dengan kekutan magnitude 8 SR yang terjadi tahun 1703. Akibat gempa yang berpusat dibawah laut ini, gelombang tsunami menghantam beberapa wilayah Jepang yang menghadap samudra pasifik dari wilayah Fukusima sampai Itou-hantou, dan tinggi gelombang tsunami tercatat mencapai sekitar 20 meter, memakan korban sekitar 200 ribu orang. Tahun 1771 terjadi gempa Yaeyama jishin yang mengakibatkan tsunami yang terkenal dengan sebutan Meiwa tsunami dengan tinggi tsunami 85 meter, dan memakan korban sekitar 9 ribu orang. Memasuki era Meiji terjadi gempa yang disebut Meiji Sanriku jishin tahun 1896, disertai gelombang tsunami tercatat mencapai 38 meter dan memakan korban sekitar 22 ribu orang. Memasuki abab 19 tercatat beberapa gempa besar seperti, Kantou jishin (1923), Sowa sanriku jishin (1933), Nankai jishin (1946), dan Hokkaido nanseioki jishin (1993) yang disertai tsunami setinggi 38 meter yang menyapu bersih isi pulau Okushirito, sebuah pulau kecil diseberang barat daya Hokkaido. Kemudian tahun 1995 terjadi gempa Kobe yang dikenal dengan nama Hanshin daishinsai yang melumatkan sebagian kota Kobe. (Sumber: Nippon Hyakkajiten “Wikipedia”) Karena banyaknya frekwensi gempa yang sebagian besar disertai gelombang tsunami tersebut, Jepang merasa perlu adanya suatu sistem yang bisa memberi peringatan akan datangnya tsunami secepat mungkin. Dimulai sejak tahun 1952, Jepang telah membangun sistem peringatan bahaya tsunami. Pada waktu itu, diperlukan waktu puluhan menit setelah gempa untuk bisa mendapatkan informasi bahaya tsunami. Ketika terjadi gempa nankai chubu jishin (1983), system peringatan bahaya tsunami Jepang mampu memberi peringatan ke penduduk 14 menit setelah gempa terjadi. Akan tetapi, beberapa wilayah yang menghadap pantai telah diterjang gelombang tsunami 7 menit setelah gempa. Karena itu pemerintah Jepang merasa perlu untuk memperbarui systemnya. Pada tahun 1993, ketika terjadi gempa Hokkaido nanseioki jishin, system Jepang mampu memberi peringatan tsunami 5 menit setelah gempa pertama terjadi. Namun pulau Okushirito yang sangat dekat dengan pusat gempa diterjang tsunami dalam waktu hampir bersamaan dengan terjadinya gempa. Akibatnya, Jepang merasa perlu untuk memperbaiki systemnya kembali. Pada tahun 1999, Kisyocho suatu Badan Meteorologi Jepang mengembangkan system baru. System ini menyimpan suatu data dalam database hasil simulasi super komputer ribuan titik pusat gempa di wilayah seluruh jepang dan sekitarnya. Database ini menyimpan data hasil simulasi gempa dan wilayah yang akan terkena tsunami, waktu datangnya dan tingginya gelombang tsunami. Dari alat pengukur gempa yang ditempatkan di seluruh Jepang, jika terdeteksi gempa di suatu wilayah, data gempa akan terkumpul di Badan Meteorologi secara real time. Untuk mengetahui adanya tsunami, system komputer tidak perlu melakukan simulasi dari awal, tetapi cukup mencari paduan dari database, kemudian melakukan simulasi perbaikan yang singkat. Dalam waktu sekitar 3 menit system ini mampu menganalisa dan memberi informasi wilayah-wilayah yang akan terkena tsunami, waktu datangnya dan tingginya gelombang. (Sumber: Nippon yakkajiten “Wikipedia”). Karena waktu 3 menit dirasa masih kurang cepat, kini Kisyocho tetap melakukan perbaikan sistem, dan percepatan alur informasi tsunami sehingga nantinya bisa ditekan mendekati 1 menit. (Sumber: Kinkyu bosai jyouhou chosa, Kisyocho, 2004) Semenjak tahun 1960, system peringatan negara-negara sepanjang samudra pacifik termasuk Jepang diintegrasikan, agar bisa saling memberi informasi bahaya tsunami jika terjadi gempa di salah satu negara yang menghadap samudra pasifik. Pentingnya integrasi system ini tergugah akibat gempa di negara Cile tahun 1960 yang disertai gelombang tsunami besar ke seluruh negara-negara yang menghadap samudra pasifik. Atas prakarsa UNESCO saat itu, sistem peringatan bahaya negara-negara pasific yang semula berdiri sendiri-sendiri akhirnya diintegrasikan. Dalam sistem yang telah terintegrasikan, jika terjadi gempa disalah satu negara, maka informasi tsunami akan disampaikan kePacific Tsunami Warning Center di Hawai yang kemudian diteruskan ke setiap negara anggota yang kini mencapai 26 negara. Cara Kerja System Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang Informasi tsunami yang ada Badan Meteorologi tidak ada gunanya jika tidak sampai ke penduduk di setiap wilayah yang akan diterjang tsunami. Dan ini mungkin suatu hal yang lebih sulit dibanding sekedar simulasi komputer tentang datangnya tsunami. Hal Ini dikarenakan bukan hanya menyangkut peralatan sistem komputer, tetapi juga sistem yang menyangkut cara kerja antar berbagai lembaga, karakter masing-masing personal, dan dipengaruhi beberapa faktor sosial lainnya. Disini, penulis ingin menguraikan alur penyampaian informasi bahaya di Jepang berdasarkan hasil survey terakhir Badan Meteorologi Jepang yang diterbitkan melalui laporan berjudul Kinkyu bosai jyouhou chosa hokoku(survey of emergency information for disaster reducation) , Maret 2004. Alur Informasi bahaya secara nasional Informasi tsunami yang ada Badan Meteorologi disampaikan secepatnya melalui jaringan khusus ke kantor pemerintah wilayah, media massa, dan Nippon Telephone Telegraph (NTT) suatu badan telekomunikasi dengan jaringan terluas semacam Telkom di Indonesia. Untuk menghindari kemungkinan terputusnya jaringan darat, jaringan ini dibackup melalui saluran satelit komunikasi Super Bird B2. Pemerintah local didaerah yang memerlukan informasi langsung dari satelit bisa juga menggunakan perangkat receiver, misalnya SEISMO-VAN atau TSUNAMI-VAN produk dari Kenwood. Media massa seperti TV dan radio yang menerima informasi bahaya tsunami segera memuat melaluiflash news yang biasanya diawali dengan bunyi pendek sirine berkali-kali untuk mencari perhatian pemirsa. NTT menyampaikan informasi tsunami ke masyarakat melalui website dan flash news ke jaringan handphone yang dikenal dengan i-Mode. Sementara itu, sistem komputer di pemerintahan wilayah menyampaikan secara otomatis ke pemerintah kota dan pemerintah daerah. Masing-masing pemerintah kota dan pemerintah daerah menyampaikan informasi tsunami ke penduduk melalui berbagai cara. Seperti, bunyi sirine keadaan darurat, pengumuman melalui pengeras suara yang biasanya dipasang di setiap distrik, pengumuman dengan mobil keliling dan juga melalui media TV dan radio local. Dengan demikian penduduk bisa mendapat informasi secepatnya melalui berbagai arah. Sehingga bisa menekan kecilnya angka penduduk yang tidak mendapatkan informasi datangnya bahaya tsunami. Sharing Informasi dan pembentukan kesadaran masyarakat Disamping itu disediakan pula sistem untuk sharing informasi antar berbagai lembaga terkait secara real time, seperti Badan Meteorologi, kantor sekretariat perdana menteri, kantor-kantor departement yang terkait, kantor syobosyo (SARnya Jepang), dan Lembaga pertolongan tingkat local. Contoh sharing informasi yang diperlukan adalah: peta wilayah bahaya, tempat pengungsian, list data korban yang meninggal dan hilang, dan informasi daerah-daerah rawan bahaya berikut jenis bahayanya. Data-data tersebut tersimpan dalam suatu database yang bisa diakses dan diupdate oleh lembaga-lembaga terkait. Hal ini diperlukan untuk menyamakan informasi secara ontime demi menghindari kesimpang siuran. Disamping itu juga untuk memudahkan koordinasi antar lembaga dalam melakukan pertolongan. Laporan Badan Meteorologi Jepang ini juga mencatat tentang berbagai kegiatan yang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang berbagai bahaya bencana alam, dan cara-cara menyelamatkan diri. Bagi yang pernah tinggal atau sekolah di Jepang pasti pernah mengalami latihan-latihan menghadapi bencana alam yang biasanya diadakan setiap tahun oleh tim SAR local. Selain itu, daerah-daerah yang rawan tsunami biasanya diberikan rambu-rambu petunjuk arah tempat penyelamatan diri. Dibeberapa wilayah bahkan dibangun bangunan tinggi tempat menyelamatkan diri dari gelombag tsunami. Hal ini diperlukan bagi masyarakat yang berada disekitar lokasi bencana supaya dengan cepat dan tepat bisa menyelamatkan diri. Penutup Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa Sistem peringatan bahaya tsunami seperti yang dimiliki oleh Jepang, bukan hanya menyangkut masalah tersedianya peralatan dan jaringan yang saling terkoneksi dan terintegrasi. Akan tetapi juga menyangkut masalah koordinasi antar berbagai lembaga yang terkait. Memberikan perhatian yang tinggi terhadap pembentukan budaya masyarakat tentang kesadaran akan bencana alam. Peningkatan pengetahuan tentang bencana itu sendiri serta cara-cara penyelamatannya. Lembaga-lembaga di Jepang melakukan pengkajian ulang untuk peningkatan fungsinya setiap tahun yang biasanya dilaporkan pada setiap bulan Maret. Jika hanya masalah peralatan sistem peringatan bahaya, walaupun ini bukan barang murah, yang penting ada modal untuk mendatangkan peralatan tersebut kita bisa memiliki kapan saja. Tetapi, pembentukan jaringan dan koordinasi antar lembaga yang berfungsi maksimal, serta maksimalisasi fungsi masing-masing lembaga itu sendiri saya kira bukanlah maslah mudah. Apalagi jika sudah menyangkut masalah pembentukan budaya dalam diri masing-masing individu masyarakat, masalahnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun semuanya saya kira perlu usaha panjang dengan berbagai try and error, dan itu telah ditunjukkan oleh Jepang. Kapan lagi kalau kita tidak segera memulainya. Yang penting dipikirkan juga kelangsungan jangka panjangnya. Jepang yang telah memulainya lima puluh tahunan yang lalu, kinipun tetap berusaha mencari kelemahan untuk diperbaikinya. Kami berharap tulisan ini tidak direnungkan dalam-dalam, apalagi sambil berandai-andai. Misalnya, seandainya Indonesia telah memiliki sistem seperti Jepang pasti korban tsunami tidak separah sekarang. Harapan kami, tulisan ini cukup sekedar dijadikan teman minum kopi, sambil mendoakan dan mengenang arwah korban bencana gempa dan tsunami Aceh. Semoga mereka tidak menggugat kita, karena sejak dulu tidak membangun sistem peringatan bahaya tsunami seperti Jepang.(Dahlan Nariman)   Sumber: Inovasi Online

© Airputih.or.id. All rights reserved.