Setelah Tiga Tahun Tsunami
    IND | ENG

Setelah Tiga Tahun Tsunami

By : Hana 08 Januari 2008 News Categori : Uncategorized

Selasa, 08 Januari 2008 07:03:46 Setelah Tiga Tahun Tsunami Kategori: Tsunami (41 kali dibaca) Teuku Kemal Fasya Desember lalu, saat ratusan pengungsi tsunami Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, merusak dan membakar rumah berbahan asbes yang dibangun Grup Bakrie, kita tak bisa menyalahkan mereka. Kemarahan korban adalah lumrah. Tiga tahun mereka menunggu sepi. Janji membangun rumah berbahan tidak membahayakan kesehatan tidak terpenuhi. Fragmen ini tentu tidak dilaporkan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat merayakan tiga tahun tsunami di Calang, 26 Desember lalu. Kerja belum selesai Rekonstruksi Aceh tidak mungkin lepas dari BRR, perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sebagai lembaga setingkat menteri, pertanggungjawabannya langsung ke presiden, bukan ke masyarakat korban. Itu sebabnya kritik masyarakat korban terus berulang dengan kelambanan dan kegagalan. Pada akhir 2005, BRR hanya mampu mewujudkan 10,5 persen anggaran yang ada. Program 2006 hanya mampu menyerap 58,1 persen dan sedikit meningkat pada 2007 (62,5 persen). Kinerja yang terlalu berhati-hati dalam pengelolaan anggaran tidak menjadi tuah. Lamban bukan respons yang sejajar dari tiadanya korupsi. Seperti beberapa lembaga filantropi internasional yang tersangkut proses mark up dan korupsi, BRR juga berkalang kabut. Publikasi ketua dewan pengawas BRR, tak kurang 153 kasus terbukti melanggar kewenangan dan pengelolaan anggaran yang dapat diusut Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Kompas, 11/9/2007). Catatan ini kian memerihkan saat melihat fakta 4.000 lebih kepala keluarga masih tinggal di barak-barak pengungsian hingga kini. Beberapa kasus bahkan mengarah pada kriminalisasi, saat keluarga pengungsi dipaksa menempati rumah kualitas buruk tanpa fasilitas sanitasi. Mereka yang menolak diusir dari barak, yang lalu dirobohkan. Rekonstruksi Aceh yang berkarakter, beridentitas, dan berpengetahuan lokal tidak berjalan. Dari tujuh sektor utama pembiayaan, sektor religi-sosial-budaya menempati anggaran terendah (Rp 263 miliar) setelah kesekretariatan (Rp 198 miliar) dengan daya serap 43 persen (Rp 115 miliar). Anggapan "hanya program budaya" dan kelemahan visi pengelolanya dalam mewujudkan rekonstruksi yang sehat secara kultural dan spiritual berlangsung tanpa pola jelas. Hal ini yang menyebabkan anggaran sosial-budaya dikurangi hingga 75 persen untuk tahun 2008. Penelitian terbaru LIPI menyebutkan, rehabilitasi dan rekonstruksi yang mengabaikan aspek kultural, lokal, dan lingkungan memunculkan bencana sosial di Aceh. Infeksi itu akibat runtuhnya modal sosio-kultural masyarakat, seperti gersangnya solidaritas sosial, merebaknya hedonisme/materialisme, luruhnya kepercayaan pada lembaga pembantu, pesimisme akan masa depan, menguatnya perasaan teralienasi akibat munculnya norma, nilai, dan keyakinan baru, hinggapnya perasaan yang tidak menyenangkan akibat kerusakan yang tergantikan, dan sebagainya. Kebanggaan pada pembangunan yang bercirikan global tidak selamanya menjadi energi positif bagi masyarakat lokal. Kematian budaya menjadi nisan yang memenuhi sejarah Aceh kini. Amat mudah melihat apa yang terjadi di Aceh sebagai kontradiksi. Rp 70 triliun untuk "membangun" malah menuju kemunduran. Kemiskinan bertambah (2,2 juta jiwa dari populasi empat juta jiwa), pengangguran meningkat (11 persen), inflasi meninggi (28,6 persen), hutan dan sungai rusak akibat eksploitasi, dan konflik baru antar dan intern masyarakat korban. Bank Dunia-isasi Buruk rupa rekonstruksi dapat dibaca sebagai akibat—istilah Joseph E Stiglitz—skema Bank Dunia-isasi (World Bank-ization) yang membuat politik bantuan global memiliki otoritas tanpa hambatan negara. Ledakan komitmen bantuan internasional mencapai 7,5 miliar dollar (memecahkan rekor bencana massal di mana pun) secara dini harus dibaca sebagai bergeraknya industri ekonomi global dibanding aktualisasi sisi kedermawanan sosial. Bukan misteri, mengapa Bank Dunia harus mendirikan kantor perwakilan di Banda Aceh dan ada ruang istimewa bagi USAID di kantor gubernur NAD. Kegagalan BRR dalam "mewujudkan masyarakat Aceh damai, aman, dan sejahtera" adalah bahasa ketidakberhasilan proses industri bantuan global di Aceh. Mereka bekerja dengan dana besar dan logika birokratisme yang lepas dari harapan korban. Inilah citra Bank Dunia-isasi (seperti terlihat pada pola bantuan ke negara miskin Asia dan Amerika Latin), yaitu menyesuaikan kebijakan struktural, efisiensi anggaran sektor riil, maksimalisasi sektor infrastruktur, peningkatan utang, dan meninggalkan ketidakseimbangan permanen karena kelaparan dan kerusuhan mayoritas korban yang tidak tertolong (Stiglitz, Globalization and Its Discontents, 2003). Secara pribadi, penulis melihat Aceh seperti Afrika dalam catatan biografis Michael Maren. Dalam buku The Road to Hell (Free Press, 1997), ia membongkar kebohongan politik bantuan lembaga internasional yang memanipulasi kepedulian, rasa kasih, aman, dan damai masyarakat korban untuk kepentingan kemewahan fasilitas dan gaji besar. Masyarakat Afrika tetap teronggok dalam kemiskinan. Aceh belum, tetapi akan menjadi neraka jika kita tidak memperbaiki visi filantropi dengan komitmen menyuarakan dan menyenangkan korban, dan bukan menyenangkan diri sendiri. Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)((*))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.