Sebagian Besar Aceh Jaya Hancur Total Puluhan Ribu Meninggal
    IND | ENG

Sebagian Besar Aceh Jaya Hancur Total Puluhan Ribu Meninggal

By : Hana 19 Januari 2005 News Categori : Berita

Rabu, 19 Januari 2005, 15:51 WIB -Berita Umum- Sebagian Besar Aceh Jaya Hancur Total Puluhan Ribu Meninggal  Reporter: nuh, Banda Aceh Puluhan ribu warga Aceh Jaya diyakini meninggal dunia dalam musibah gempa bumi dan disusul gelombang tsunami pada Minggu, 26 Desember 2004. Sementara itu, sebagian besar rumah penduduk dan gedung pemerintah di wilayah pemekaran Aceh Barat itu hancur total. Pantauan Serambi lewat udara dengan helikopter yang terbang rendah, kemarin, menyaksikan pemandangan hamparan rawa luas dan puing-puing rumah dan bangunan yang telah diterjang bencana. Tak terlihat satu rumah atau bangunan tersisa di kawasan pesisir Samudera Hindia. Lima dari enam ibukota kecamatan yang ada di Aceh Jaya hancur total dan yang tersisa hanya ibukota Kecamatan Jaya di Lamno. Kelima kota lain yang telah hancur total ialah Lhok Kruet (ibukota Sampoiniet), Lageun (Setia Bakti), Calang (Krueng Sabe), Panga (Panga), dan kota Teunom (ibukota Teunom). Menurut data yang diperoleh dari posko induk Lamno, perkiraan warga Aceh Jaya berjumlah lebih dari 96.000 orang. Dari jumlah itu hingga kemarin, yang dilaporkan selamat sekitar 50.758. Sedangkan, sisanya sebanyak 45.200 lebih diyakini meninggal dunia atau hilang digulung gelombang tsunami. Tetapi, belum didapat angka korban yang pasti di Aceh Jaya. Karena, hingga kemarin, menurut beberapa warga dan pejabat setempat, proses evakuasi jenazah korban masih terus dilakukan masyarakat dan aparat TNI/Polri. Sedangkan posko kabupaten masih dalam kondisi darurat di Calang, ibukota Aceh Jaya, karena banyak bangunan sudah rata dengan tanah. Mengingat hanya kota Lamno yang tidak mengalami kerusakan, beberapa elemen masyarakat Aceh Jaya mengusulkan agar ibukota kabupaten itu, dipindahkan sementara ke Lamno. Usulan itu dirasa perlu untuk mempercepat pemulihan roda pemerintahan kabupaten yang baru berusia sekitar 3 tahun. Alasan pemindahan sementara ibukota Aceh Jaya karena di Lamno masih tersedia fasilitas pemerintahan, pendidikan, telekomunikasi, pasar, Puskesmas, masjid, PLN dan sarana dan prasarana lainnya. Selain itu juga sedang diupayakan akan membuka jalur Lamno-Jantho, Aceh Besar. Diharapkan dengan terbuka jalur itu, bantuan untuk pengungsi di sana bisa dipasok lewat jalan darat. "Ini perlu segera mendapat respon dari pemerintah sebab dalam waktu dekat ini sangat sulit aktivitas pemerintahan bisa dipulihkan. Maka buat sementara sudah sepatutnya ibukota dipindahkan ke Lamno," kata seorang politisi Lamno, Faizan, yang ditemui Serambi di posko induk dalam kompleks Markas Koramil setempat. Menurut data sementara posko itu, penduduk Kecamatan Jaya meninggal dunia hampir mencapai 10.000 orang. Sedangkan warga Sampoiniet yang meninggal dunia menurut data sementara, sekitar 8.000 orang, Krueng Sabe (11.000), Setia Bakti (3.500), Panga (3.500), dan warga Teunom (10.000 orang lebih). Dari Lanud SIM, Aceh Besar, Serambi menumpang helikopter jenis Sea-hawk milik Angkatan Laut Amerika Serikat (AS), yang terbang rendah, memantau sebagian kecil lokasi bencana. Heli itu mendarat di sebuah lapangan bola kaki di Lamno untuk menurunkan beras dan air bersih. Pantauan melalui udara kembali disaksikan Serambi, dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, dengan menggunakan helikopter Superpuma milik Angkatan Udara Swiss yang disumbang kepada lembaga PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Kendati hampir seluruh rumah penduduk sudah rata dengan tanah, di beberapa tempat terlihat masjid masih berdiri. Tidak rusak Pusat pasar Lamno tidak mengalami kerusakan akibat gempa. Tetapi di situ, terdapat 12.400 lebih penduduk yang mengungsi. Mereka berasal dari puluhan desa di Kecamatan Jaya dan Kecamatan Sampoiniet, Setia Bakti dan Krueng Sabe --yang sudah tidak memiliki rumah lagi akibat terjangan tsunami. Semua pengungsi ditampung di beberapa titik seperti gedung sekolah, masjid, pusat pasar, dan lapangan. Sejumlah pengungsi yang ditanyai Serambi mengaku masih trauma. Malah ada di antara mereka yang tidak mau kembali lagi ke desanya. Yusri A Rani (33) yang mengaku Keuchik Desa Bahagia, Kecamatan Jaya mengatakan, dia kehilangan istri dan seorang putri yang berusia 2,5 tahun. Menurut dia, sebanyak 319 warga desanya meninggal dunia dan yang tersisa yaitu sekitar 242 kini mengungsi di Lamno. Jarak Desa Bahagia dengan Lamno sekitar 8 kilometer. Menurut Yusri, mereka mengungsi ke Lamno dengan berjalan kaki. Malahan, pada malam pertama atau Ahad (26/12/2004) malam, mereka harus tidur di gunung. "Desa kami sudah hancur. Tak ada lagi rumah yang selamat," katanya, seraya menyebutkan Desa Bahagia terletak 500 meter dari laut. Beberapa hari pasca-bencana, ia bersama sejumlah warga yang selamat pulang ke desa untuk menguburkan warganya yang meninggal dunia. Dia dan beberapa warga desa tersebut menyebut tidak mau lagi kembali ke desanya. "Kalau bisa pemerintah menyediakan lahan baru untuk kami. Sehingga, kami bisa memulai hidup baru. Kami harus mulai dari nol," ungkapnya seraya menyatakan bahwa untuk saat ini yang sangat dibutuhkan warga pengungsi adalah lauk-pauk. Menurut Yusri yang dibenarkan sejumlah pengungsi lain di SMA Negeri 1 Lamno, pihaknya hanya diberi bantuan berupa beras dan mie instan. "Jika setiap hari hanya makan indomie, bisa-bisa semua sakit," ujar seorang pengungsi. Di depan SMA sejak tiga hari lalu, sudah didirikan satu rumah sakit lapangan berbentuk tenda oleh International Medical Corps (IMC). Dr Jeffrey Goodman dari AS, yang ditanyai Serambi mengaku mereka sudah berada di Lamno sejak sepekan silam, setelah mengarungi laut dengan boat tradisional. Selain mendirikan rumah sakit lapangan itu, pihaknya juga membangun klinik-klinik di beberapa titik. Juga disiapkan rumah sakit mobile, yang terus bergerak. Sejak rumah sakit lapangan di SMA dibuka sudah ratusan warga yang berobat. Untuk berkomunikasi warga dan paramedis asing, terdapat seorang guru bahasa Inggris di SMA itu, Nazaruddin, dan seorang muridnya, Cut Keumala Sari, sebagai penerjemah. Goodman mengatakan, dia bersama enam timnya senang bekerja di Lamno sebab sambutan penduduk cukup hangat. Mereka dalam bekerja menjalin kerjasama dengan TNI. "Namun, kami tetap independen. Kami tidak mau terlibat masalah politik. Ini murni misi kemanusiaan," katanya. Beberapa pengungsi yang ditanyai mengaku senang dengan bantuan dari paramedis asing. Mereka berharap agar tim medis itu bisa lebih lama bersama warga. "Kalau bisa mereka lebih lama sampai kami bisa hidup mandiri kembali," kata para pengungsi. Selama Serambi berada di Lamno sekitar empat jam, terlihat beberapa helikopter militer Singapura dan UNHCR mendarat. Saat heli-heli itu mendarat dan terbang lagi setelah menurunkan bantuan, puluhan anak-anak berlarian di sekitar lapangan bola yang dijadikan "helipad." Anak-anak yang tidak bersekolah karena gedungnya dipakai pengungsi, juga terlihat bercanda dengan para serdadu AS, Singapura dan Swiss. Malah sang pilot helikopter Sea-hawk bercanda dengan anak-anak dari balik jendela helinya. Heli-heli Angkatan Udara Swiss yang disumbangkan untuk UNHCR (badan dunia yang mengurus masalah pengungsi) memasok puluhan tenda ringan dan selimut tebal. Mereka juga memasok makanan. Pasokan bantuan itu juga dilakukan helikopter militer dari negara lain. Sumber: Serambi Indonesia

© Airputih.or.id. All rights reserved.