Ringankan Penderita dan Berdayakan Masyarakat
    IND | ENG

Ringankan Penderita dan Berdayakan Masyarakat

By : Hana 17 September 2007 News Categori : Uncategorized

Senin, 17 September 2007 08:01:16 Ringankan Penderita dan Berdayakan Masyarakat Kategori: Umum (143 kali dibaca) Dalam setiap kejadian bencana, selalu terlihat sukarelawan, tenda penampungan pengungsi, dan dapur umum bertanda palang merah. Kita merasa hal itu sudah sewajarnya ada. Namun, pernahkah kita berpikir dari mana mereka dan siapa yang membiayai semua kegiatan kemanusiaan yang mereka lakukan? Pada usia yang ke-62, Palang Merah Indonesia (PMI) tetap menjadi garda terdepan pertolongan terhadap korban bencana. Setiap kegiatan dilakukan tanpa banyak publikasi sehingga sering luput dari perhatian masyarakat. Menurut Ketua Umum PMI Pusat Mar’ie Muhammad, PMI masih tetap pada mandat internasionalnya, yaitu menjadi organisasi yang netral dan mandiri untuk membantu meringankan penderitaan manusia akibat bencana tanpa membedakan latar belakang korban. Kegiatan PMI berkembang, tidak hanya menyediakan darah untuk transfusi serta menolong korban bencana, tetapi juga membantu kegiatan di bidang kesehatan seperti pencegahan penyakit menular seperti malaria, HIV/AIDS, dan flu burung; mobilisasi masyarakat dalam kegiatan imunisasi, serta upaya mempertemukan keluarga yang terpisah. Dalam hal bencana, PMI sejak beberapa tahun lalu tidak hanya melakukan bantuan saat terjadi bencana, tetapi juga kegiatan antisipasi. Terkait perubahan iklim, ke depan diperkirakan akan timbul banyak bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Di luar itu, ada bencana yang belakangan sering terjadi yang menimbulkan banyak korban, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. Untuk mengurangi jumlah korban dan dampak bencana, PMI melaksanakan program community based disaster preparedness/risk reduction (CBDP/ CBRR) atau kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat (KBBM). Program ini terutama dilaksanakan di daerah pedesaan. Tujuannya agar masyarakat mampu menolong diri sendiri, tidak tergantung bantuan pihak luar, saat terjadi bencana. Kepala Divisi Penanganan Bencana PMI Pusat Arifin M Hadi menuturkan, KBBM antara lain dilaksanakan di Wajo, sekitar Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Wilayah itu menjadi langganan banjir karena ada 13 sungai masuk ke danau, tetapi hanya ada satu sungai keluar menuju Teluk Bone. Jika air laut pasang, terjadi banjir besar yang bertahan dalam hitungan bulan. Saat datang, banjir bisa setinggi 3-4 meter dan mengempaskan eceng gondok ke rumah penduduk sehingga rusak parah. Berdasarkan penilaian kondisi, survei dasar, penilaian kapasitas dan kerentanan, dilakukan rekrutmen relawan PMI berupa tim satuan siaga bencana dan tim siaga bantuan berbasis masyarakat. PMI dan tim relawan bersama-sama melaksanakan pemetaan daerah rawan bencana, membuat rencana kerja, serta mengadakan pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat. Mitigasi yang dilaksanakan antara lain membangun tiang penyangga untuk mencegah eceng gondok dan mengurangi dampak bahaya banjir. Selain itu, juga dilakukan pemberantasan malaria dan demam berdarah dengan menyebarkan bibit ikan pemakan jentik nyamuk di kolam genangan dan tanggul aliran sungai. Hal lain yang dilakukan adalah menyosialisasikan higiene dan sanitasi lingkungan pada penduduk Panampu, Sulawesi Selatan, untuk mengurangi angka kejadian diare dan pes yang menyerang penduduk tiap tahun. KBBM juga dilakukan di provinsi lain, seperti Bali, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Saat ini program telah mencakup 120 desa. PMI juga melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan seperti penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan. Juga pelatihan pertolongan pertama, tidak terbatas pada bencana alam, tetapi juga pencegahan kejadian luar biasa penyakit menular. Menurut Kepala Divisi Pelayanan Sosial Kesehatan PMI Pusat Lita Sarana, kegiatan itu dikemas dalam program community based first aid-water sanitation (CBFA-Watsan) atau program pertolongan pertama berbasis masyarakat (PPBM)-air dan sanitasi. Program ini telah dilakukan pada 160 desa di 18 provinsi. Salah satunya, PMI didukung Federasi Palang Merah Internasional serta konsultan dari Departemen Pekerjaan Umum menyediakan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat Desa Kereana, Kabupaten Belu, NTT. Sebelumnya, penduduk enam dusun di desa itu harus berjalan 3 km untuk mendapatkan air bersih di musim kemarau. Dengan penyediaan instalasi pengolahan air sederhana, sejumlah bak penampung air, sumur gali, dan pipanisasi serta jamban, penduduk kini tidak kesulitan air dan hidup lebih sehat. Program KBBM dan PPBM didanai palang merah dan lembaga donor negara lain seperti Denmark dan Belanda. Untuk kegiatan di bidang imunisasi dan sosialisasi pencegahan penyakit, PMI dibantu dana dari Unicef. Dana rutin Menurut Mar’ie, untuk meraih kepercayaan masyarakat, PMI secara transparan mempertanggungjawabkan sumbangan masyarakat. Laporan kegiatan dan dana yang digunakan dipublikasikan dalam buletin yang diterbitkan PMI. PMI juga diaudit oleh akuntan publik. Misalnya, untuk penanggulangan tsunami, PMI diaudit oleh Pricewaterhouse Coopers. Namun, PMI menghadapi kesulitan finansial untuk menjalankan roda kegiatan sehari-hari. Akibatnya, PMI kesulitan merekrut pengurus dan pelaksana harian pada sejumlah kantor cabang. "Kami akui ada sejumlah kantor cabang yang kurang aktif, bahkan mandek. Hal itu bisa jadi akibat kesulitan biaya operasional rutin, tapi bisa juga karena kurangnya komitmen pengurus cabang atau lemahnya kapasitas manajemen. Secara umum kantor cabang di Jawa dan Bali kuat, tetapi di luar itu masih belum merata," papar Mar’ie. Untuk meningkatkan kemampuan kantor cabang, demikian Kepala Divisi Komunikasi PMI Pusat Aswi Reksaningtyas, PMI melakukan pelatihan peningkatan kepemimpinan, manajemen maupun penanganan bencana. Selain itu, diupayakan penggalangan dana, sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat PMI di samping upaya pendirian unit usaha untuk menopang kegiatan sehari-hari PMI. Di negara lain, demikian Mar’ie, pemerintah berkomitmen membantu kantor palang merah. Di Indonesia, ada pemerintah daerah yang sangat membantu, tapi masih banyak pula yang sangat minim bantuannya. Sejauh ini belum ada dukungan kuat dari pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat hanya datang menyalurkan bantuan saat ada bencana. Namun, jarang yang memikirkan overhead kegiatan rutin. Misalnya, waktu membantu korban tsunami, biaya listrik dan telepon kantor pusat PMI membengkak tiga kali lipat. Saat mengoperasikan posko 24 jam, relawan perlu diberi konsumsi, kendaraan perlu diisi bensin, penggunaan listrik dan telepon meningkat. Biaya untuk itu belum ada yang memikirkan. Mar’ie menuturkan, di negara lain, bahkan negara seperti Kamboja dan Laos, palang merah setempat memiliki sumber pendapatan tetap untuk menjamin keberlangsungan kegiatan sehari-hari. Di cabang Phnom Penh, misalnya, perusahaan air dalam botol memasang logo palang merah dan memberikan sebagian hasil penjualan untuk dana palang merah. Jauh sebelumnya, PMI sudah berupaya melakukan hal sama. Mar’ie mendekati asosiasi perusahaan minuman ringan serta mi instan untuk mencari dana dengan cara serupa. Masalahnya di Indonesia belum ada aturan siapa saja boleh menggalang dana dan bagaimana caranya. Akibatnya, pengusaha enggan menerima proposal Mar’ie karena khawatir pihak lain akan minta hal serupa sehingga memberatkan perusahaan. Menurut Mar’ie, pengurus melakukan kerja sukarela tanpa dibayar. Namun, untuk kegiatan rutin perlu ada dana operasional serta gaji tenaga pelaksana. Untuk itu dirasakan perlu peningkatan budaya filantropis masyarakat sehingga ada cukup banyak donatur. Hal ini selayaknya menyadarkan kita semua. Di balik semua kegiatan kemanusiaan tetap diperlukan dana agar kegiatan berjalan lancar. Selama ini kita taken for granted terhadap semua bantuan itu. Kini saatnya masyarakat memberikan dukungan.(Atika Walujani Moedjiono)   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.