Politik Banjir Megapolitan ?
    IND | ENG

Politik Banjir Megapolitan ?

By : Hana 15 Februari 2007 News Categori : Uncategorized

Kamis, 15 Pebruari 2007 13:12:56 Politik Banjir Megapolitan? Kategori: Banjir dan Tanah Longsor (141 kali dibaca) Politik Banjir Megapolitan? Masalah banjir sudah dibahas dengan pendekatan multidisiplin, multidimensi, multisektoral, multilateral dan entah multi apa lagi. Semua mencerminkan kegemasan, kecemasan dan frustrasi sosial yang tinggi. Satu lagu lama yang mencuat ialah bahwa masalah banjir memerlukan pendekatan terpadu kawasan Jabodetabek- Punjur untuk pembenaran adanya "Menteri Megapo- litan". Paduan suara itu menjadi tidak relevan karena Profesor Sejarah Hubungan Eropa Asia Leonard Blusse dari Leiden menyatakan bahwa Belanda mampu mengatasi dampak penggundulan sungai Rhine di wilayah hulu di Jerman. 2/3 wilayah Belanda berada dibawah permukaan laut, demikian pula 40 persen Jakarta. Belanda menjadi ahli ekosistem bawah laut sehingga untuk membangun kembali New Orleans akibat banjir Katrina, AS mengundang tim ahli Belanda. New Orleans di Lousiana dibangun oleh Prancis yang lebih mengutamakan estetika ketimbang ekosistem. Rencana pembangunan Banjir Kanal Timur sejak 1933 tetap relevan setelah 73 tahun. Apa yang dikerjakan elite nasional Indonesia selama hampir 62 tahun merdeka? Problem banjir Jakarta dan aglomerasi kawasan megapolitan Jabodetabek merupakan konsekuensi logis dari konsentrasi kekuasaan politik selama setengah abad Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman Hindia Belanda, Batavia hanya ibu kota politik. Sedang pusat kegiatan ekonomi, bisnis, industri adalah Surabaya yang mirip New York terhadap Washington. Atau Shanghai terhadap Beijing dan Sydney dengan Canberra. Di zaman Belanda, Surabaya menjadi pelabuhan terbesar, kota dagang dan industri terkemuka yang produksi dan ekspornya diatas Jakarta. Jadi orang Surabaya dan Jawa Timur tidak perlu berbondong bondong sowan atau cari nafkah ke Jakarta. Sistim politik kekuasaan manunggal disatu tangan kepresidenan dan eksekutif telah membuat Surabaya dan pusat-pusat kota lain yang dizaman Belanda punya prospek pertumbuhan setara dengan Jakarta, tersendat dan mencuatkan konsentrasi monster Jabodetabek Punjur. Disini segala macam penyalahgunaan dan hukum rimba bisa terjadi. Pemda lokal tingkat dua, kabupaten, kota madya atau provinsi jelas tidak akan berani menolak. instruksi, kehendak atau himbauan pejabat Jakarta, atau Istana dalam menikmati perubahan Tata Ruang dengan Tata Uang atau tekanan despot. Rancangan Kolonial Reformasi yang membuka desentralisasi dan dekonsentrasi serta otonomi daerah merupakan ayunan pendulum dari pola konsentrasi Orde Baru. Namun arus migrasi ke Jabodetabek tetap mengalir mirip arus imigran Amerika Latin ke AS. Paralel dengan meningkatnya kebutuhan lahan, alokasi dana kurang mencerminkan kepedulian dan prioritas pengendalian banjir yang sudah dirancang sejak 1933 oleh pemerintah kolonial. Selama Indonesia merdeka, memang banyak bangunan baru dibangun oleh pemerintah RI. Tapi pengendalian banjir Jakarta masih mengandalkan pintu air Manggarai warisan kolonial yang tidak pernah diperbaharui atau ditambah. Banjir Kanal Timur hanya jadi wacana dan rencana dengan alasan kurang dana. Padahal dana yang diperlukan hanya Rp 5 triliun. Bandingkan dengan estimasi kerugian banjir menurut Menteri Kepala Bappenas, Paskah Suzetta Rp 4,1 trilyun untuk Jakarta saja. Ini berarti, seandainya pemerintah pusat dan DKI berkongsi konkret membangun banjir kanal maka kerugian itu bisa terhindar dan DKI sudah punya banjir kanal. Alokasi dana untuk busway melebihi keperluan pembebasan tanah banjir kanal. Pembangunan megapolitan akibat konsentrasi ekonomi bisnis ke pusat ibukota politik tidak terhindarkan. Pusat-pusat pertumbuhan di luar Jakarta masih seperti Segitiga Jogya-Solo- Semarang dan Gerbang Kertosusilo di Jatim masih sulit menjadi magnet tandingan Jabodatabek. Tapi memang aglomerasi ke kawasan metropolitan tidak terhindarkan, juga di AS. Diproyeksikan akan terjadi 4 konsentrasi urban yaitu Los Angeles, New York, Houston Texas dan Miami Florida. Sementara di Indonesia, bila tidak dikembangkan pemerataan ke daerah, maka situasi mirip 4 pusat urban AS ditumplek blek ke Jabodetabek men- jadi urban monster tak terji- nakkan. Sekarang Presiden mencanangkan 1000 menara rusun untuk memelihara daerah resapan air. Sebab memang pertumbuhan penduduk dan migrasi ke Jabodetabek tidak bisa tertahan, kecuali pola pembangunan menyebar ke seluruh wilayah diluar ibukota digalakkan lebih proaktif. Pembangunan banjir kanal dan penataan kembali Tata Ruang barangkali bisa melibatkan Bank Dunia dan tim ahli Belanda. Ali Sadikin pernah mempelopori program perbaikan kampung, yang menjadi acuan Bank Dunia dan memberi pinjaman lunak kepada Pemda DKI. Perbaikan kampung dijadikan pola bantuan negara berkembang lain. Sekarang dalam pembangunan menara rusun untuk menghemat lahan dan urgensi pembangunan banjir kanal yang memerlukan dana jangka panjang, diuji kecanggihan diplomasi untuk melibatkan Bank Dunia. Paul Wolfowitz sedang berusaha merubah citra Bank Dunia sebagai lembaga pembiayaan peduli rakyat kecil. Sok Populis Suatu pembangunan banjir kanal terpadu sekaligus sebagai obyek wisata model kanal Amsterdam dan bis air (angkutan lewat kanal) dari hulu ke hilir bisa merupakan program dengan multiple effect dalam jangka panjang. Elite sok populis biasa berteriak, kita cukup kaya, punya dana simpanan menganggur di bank berupa SBI/SUN karena itu kita tidak perlu utang lagi. Tapi kalau disuruh membangun banjir kanal, mengeluh tidak punya dana dan getol memaki go to hell. Di mana logika dan etika serta moral berpolitik. Kalau memang ada dana ya cepat membangun, kalau tidak mampu mengalokasikan dana ya perlu pinjaman lunak, maka aktiflah berdiplomasi. Namun kalau berkepala batu arogan dan hanya menyalahkan orang lain, maka bencana banjir ini hanya salah satu musibah yang terus mengancam secara rutin. Belanda menerima banjir kiriman dari sungai Rhine Jerman tapi tidak mengeluh dan mengatasi dengan teknologi tercanggih sedunia. Orde Lama dan Orde Baru sudah salah, kebablasan dalam otonomi juga sudah jadi sejarah. Semua itu harus diakui dan kita harus melakukan terobosan baru yang benar-benar mengutamakan meritokrasi guna mencapai hasil optimal bagi rakyat. Selama merdeka Jakarta dan Jawa hanya dilayani prasarana warisan Hindia Belanda seperti pintu air Manggarai, jalan pos Daendels. Jalan tol baru diawali oleh putra putri penguasa tunggal Orba. Sekarang saatnya rakyat Jakarta menentukan pilihan bahwa hanya cagub yang mampu membangun banjir kanal dalam 3 tahun dengan segala kecanggihan tehnik diplomasi finansial dan menciptakan model pembangunan terpadu, layak jadi Gubernur DKI. Kalau tidak mampu membangun banjir kanal ya tidak perlu berambisi jadi Gubernur DKI atau "Menteri belepotan" apalagi jadi capres 2009. Beban citra dan reputasi kegagalan banjir tentu juga berdampak pada prospek pemilihan kembali duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalau banjir teratasi bisa menjadi bukti sukses kepemimpinan, maka saingan capres lain akan susah maju. Namun bila Kabinet Indonesia Bersatu, gagal membangun banjir kanal, capres alternatif berpeluang untuk tampil secara independen. Seperti Gubenur NAD, karena rakyat sudah muak dengan "rezim parpol" yang korup, impoten dan inkompeten. *Penulis adalah pengamat masalah internasional(Christianto Wibisono)   Sumber: Suara Pembaruan

© Airputih.or.id. All rights reserved.