Pendamping Sosial Memang Harus Paham Aspek Sosial
    IND | ENG

Pendamping Sosial Memang Harus Paham Aspek Sosial

By : Hana 26 November 2006 News Categori : Uncategorized

Minggu, 26 November 2006 21:28:40 PENDAMPING SOSIAL MEMANG HARUS PAHAM ASPEK SOSIAL Kategori: Gempabumi (132 kali dibaca) Perjuangan warga korban gempa di Kelurahan Ngentakrejo, Lendah, Kulon Progo bisa dibilang cukup berhasil. Amin Kustopo (38 tahun), warga RT/RW 121/04 di Dusun Nglatiyan II bercerita soal geliat warga yang memperjuangkan nama-nama yang nantinya bisa masuk di dalam Pokmas. Nama Amin Kustopo sendiri tidak masuk dalam daftar penerima dana rekonstruksi, namun dirinya senantiasa mengajak warga untuk selalu berkumpul dan berembug soal daftar rumah yang akan diusulkan menerima dana rekonstruksi. Warga berkumpul dan dihadiri para ketua RT, kemudian mereka berembug, bernegosiasi, dan kemudian menyepakati daftar nama pemilik rumah yang nantinya akan diusulkan. Dari awalnya hanya 26 rumah yang tercatat masuk di dalam daftar, warga dan pamong kembali berembug membahas rumah-rumah yang sekiranya perlu dan layak dibantu. Beberapa nama yang tadinya belum masuk di dalam daftar, dirembug kembali agar nantinya bisa dimasukkan di dalam daftar. Setelah warga dan pamong menyepakati daftar nama pemilik rumah yang akan diusulkan ke PU, mereka pun berencana berangkat bersama-sama menghadap PU. Warga dan pamong setempat menghadap PU untuk kemba!i mengajukan usulan hasil dari rembug dusun. Data yang diusulkan tidak hanya daftar nama pernilik rumah, namun dilengkapi juga dengan data daftar penerima jadup (living cost), data hasil dari pendataan pertama, data hasil dari pendataan verifikasi ulang, dan foto pemilik rumah beserta sisa-sisa bangunan rumah yang telah rusak akibat gempa. "Warga dan pamong mengusahakan melampirkan data yang paling sah." ujar Amin. Ternyata perjuangan warga tidak sia-sia. Terbukti warga bisa memperjuangkan 42 rumah lagi yang akan masuk di dalam daftar. Sehingga kini seluruhnya ada 68 rumah yang tercatat masuk di dalam daftar penerima dana rekonstruksi. Keresahan warga sempat muncul ketika waktu itu warga sudah lebih dulu membangun rumah sebelum pemerintah mengeluarkan aturan yang dikenal dengan istilah juklak (patunjuk pelaksanaan), atau PO (Petunjuk Operasional). Ada pokok yang mengatur bahwa warga harus menggunakan besi setebal 12 mm, sedangkan warga terlanjur menggunakan 8 mm. "Dha mbanguna, ora usah wedi. Sesuk tetep diijoli", ujar Amin Kustopo menirukan pidato Gubernur DIY. Sehingga Amin Kustopo sendiri tetap meyakinkan para tetangganya bahwa ketentuan yang diatur di dalam PO tidak mutlak. Kini 244 KK di Nglatiyan II bisa merasakan ketenangan, terutama bagi mereka yang rumahnya mengalami rusak berat dan roboh. Tenang karena namanya masuk di dalam daftar penerima dana rekonstruksi, namun beberapa warga mengaku tetap tidak tenang ketika mendapat kabar kemungkinan wilayah Kabupaten Kulon Progo mendapat giliran terakhir untuk pelaksanaan pencairan dana rekonstruksi. Lima Pokmas sudah terbentuk di Nglatiyan II. Satu Pokmas beranggotakan 15 orang. 3 orang pendamping yang terdiri dan 2 fasilitator teknis dan 1 fasifitator sosial akan mendampingi 3 Pokmas. Di Nglatiyan II, para fasilitator akhirnya malah mengikuti kebijakan yang dibuat oleh anggota dan ketua Pokmas. Sekarang warga sedang menunggu jatuhnya dana ke tangan mereka, karena sepengetahuan warga dana rekonstruksi tersebut sudah dikucurkan, sudah cair. Namun informasi yang diterima warga juga masih simpang siur. Sebagian warga mendapat informasi bahwa buku rekening mereka akan terisi pada tanggal 12 bulan November 2006, namun ada juga warga yang mengatakan 20 November 2006. Untuk pendamping teknis warga tidak mengalami kendala. Namun untuk pendamping sosial, Amin Kustopo mengaku warga umumnya justru menginginkan pendamping sosial tidak diambil dari perangkat desa, tapi tetap warga asli. Kalau bisa warga asli yang menjadi tokoh rnasyarakat. "Bagaimana pendamping sosial bisa bekerja maksimal kalau konsentrasinya masih harus terpecah-pecah dengan pekerjaan kantor?", tutur Amin. Di Pedukuhan tetangganya, Mirisewu, Suroso R.P. (50 th), menjelaskan dari 293 rumah, tercatat 108 rumah yang masuk daftar penerima dana rekonstruksi. Warga umumnya mengharapkan dana tersebut segera cair, mengingat musim hujan sudah duluan cair. Warga RT/RW 31/09 Mirisewu, Ngentakrejo, Lendah, Kulon Progo ini juga mewakili warga lain yang cukup terbantu dengan adanya bantuan rumah sementara. Ketua Posko Roboh ini masih mengharapkan adanya bantuan terutama di bidang kebersihan yang erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Sertifikat Melayang Sehagian orang beranggapan bahwa hidupnya akan menjadi lebih nyaman apabila tidak terikat hutang apalagi hutang materi. Tapi ternyata tidak semua orang merasakan seperti itu. Setidaknya itulah yang terjadi pada sebagian warga di Kelurahan Ngentakrejo. Lendah, Kulon Progo. Amin Kustopo dan warga Ngentakrejo umumnya malah memiliki ungkapan "Nek urip ora nduwe utang, kayane ana sing kurang. Seperti kehilangan semangat hidup". Menurutnya, ungkapan tersebut mewakili dinamika hidup manusia yang tidak akan terlepas dari hutang, apalagi hutang budi terhadap sesamanya. Namun kaitannya dengan hutang materi;’ dirinya dan warga lainnya juga sudah terbiasa hidup dengan hutang. Hal tersebut dijelaskannya ketika warga yang kehilangan rumah akibat gempa 27 Mei lalu tidak ragu-ragu menggadaikan harta bendanya agar nantinya mereka memiliki modal untuk membangun rumah mereka kembali. Bahkan sebagian warga yang kehilangan tempat tinggalnya tidak ragu sedikitpun untuk menggadaikan sertifikat tanahnya supaya bisa dijadikan jaminan mencari hutangan, karena bagaimanapun juga prioritas yang utama adalah tempat tinggal yang layak bagi seluruh anggota keluarga. "Rumah saya tidak masuk dalam daftar penerima dana rekonstruksi, dan saya juga menambal-sulam rumah saya dengan duit utangan juga", jelasnya. Sebagian besar warga di Ngentakrejo bermata pencaharian sebagai pencari pasir. Hal tersebut dilakoni warga mengingat tempat tinggal mereka secara geografis berdekatan dengan Kali Progo. Amin Kustopo juga menceritakan betapa sulitnya warga mencoba bercocok tanam. Karena memang kondisi tanah yang tidak memungkinkan untuk ditanami, warga akhirnya tetap berprofesi sebagai pencari pasir. Hasil yang mereka peroleh akhirnya digunakan untuk menambah modal berjualan dawet. Selain dawet yang mereka jual, sebagian dawet mereka tukarkan dengan gabah. Dan begitu seterusnya sehingga bagi sebagian warga, uang bukan segalanya. Keadaan kini kembali sulit ketika gempa bumi menggoyang Yogyakarta 27 Mei silam. Warga tidak memiliki pilihan lain selain harus memulainya kembali dari awal. Harta benda termasuk sertifikat tanah mereka gadaikan agar mereka bisa segera kembali berteduh di dalam rumah. Andaikata bisa dibuatkan sertifikat dan laku, pasti warga akan memilih menggadaikan pidato Wapres.(WD)   Sumber: Suara Korban Bencana

© Airputih.or.id. All rights reserved.