Membangun sambil Menularkan Ilmu Tahan Gempa
    IND | ENG

Membangun sambil Menularkan Ilmu Tahan Gempa

By : Hana 25 November 2006 News Categori : Uncategorized

Sabtu, 25 November 2006 17:14:21 SD Sukorame Membangun Sambil Menularkan Ilmu Tahan Gempa Kategori: Gempabumi (269 kali dibaca) Tanda tangan dan nama pejabat biasanya dikedepankan untuk menghiasi sebuah prasasti. Akan tetapi, di prasasti peresmian SD Sukorame, tak satu pun nama pejabat yang terpampang. Prasasti ini justru mencantumkan nama 44 orang yang terdiri dari tukang bangunan, wali murid, dan seorang arsitek Jepang yang bekerja dalam proyek pembangunan sekolah yang sempat roboh karena gempa. Empat bulan, dari Agustus hingga November, mereka bekerja demi bangkitnya kembali tempat untuk menimba ilmu bagi anak-anak mereka. Sempat mengebut pengerjaan hingga sama sekali tak libur selama satu bulan terakhir, para wali murid beserta beberapa tukang bangunan mengaku tidak capek. Padahal, mereka bekerja dari pukul 07.00-16.00 setiap hari. Meski orangtua murid hanya dibayar Rp 15.000 per hari, plus 2,5 kilogram beras, mereka tak mengeluh, apalagi demo. "Asalkan anak- anak kami tak lagi harus kepanasan belajar di tenda, tak dibayar pun kami rela," ujar beberapa wali murid di sela-sela acara peresmian gedung SD Sukorame, Jumat (24/11). Hasilnya, saat ini gedung SD Sukorame yang terletak di Kecamatan Dlingo, Bantul, sudah berdiri kokoh di tengah permukiman warga yang sebagian masih porak-poranda akibat gempa. Sekolah ini dibangun dengan pendanaan dari rakyat Jepang, Japan Platform, dan perusahaan OMRON melalui LSM NICCO (Nippon International Cooperation for Community Development). Kebahagiaan terpancar di wajah murid-murid SD Sukorame. Bagi siswa kelas III, Febi misalnya, selesainya pembangunan berarti dia dan kawan-kawannya bisa lepas dari pelajaran di tenda yang panas. Senin depan, Febi sudah bisa menikmati kelas barunya. Gedung sekolah terbagi menjadi empat ruang dengan ukuran tiap ruang 8 meter x 8 meter. Khusus kelas V, dibuat bangunan terpisah dengan konsep semipermanen, yaitu separo bata dan sisanya dari anyaman bambu. Bangunan kelas VI masih berupa rangka dan diserahkan ke warga secara swadaya untuk menyelesaikannya. Konstruksi bangunan sekolah cukup kokoh untuk menahan gempa karena dibangun di atas fondasi batu-batu kali setinggi badan orang dewasa dan tulangan besi. Selain itu, bangunan juga dilengkapi jeda kuda-kuda kayu yang berlapis rapat di atapnya. Berbeda dengan bangunan SD lain yang menggunakan platform datar, atap SD Sukorame berbentuk kerucut, yang lebih aman terhadap gempa. Jika terjadi gempa hingga 8 skala Richter, menurut arsitek yang khusus didatangkan dari Jepang, Takahiro Azaki, bangunan seluas 320 meter persegi ini hanya akan retak dan tidak roboh. Selain kekokohannya, gedung ini menjadi unik dengan pencahayaan yang sangat terang. Di samping banyaknya jendela kaca, Takahiro juga sengaja memasang banyak genteng dari kaca di antara eternit. Gedung sekolah tahan gempa ini juga gampang ditiru karena semua bahan bangunan mudah didapat. Sayangnya, butuh dana yang sangat besar untuk pembangunannya. Total dana untuk pembangunan sekolah ini mencapai 4,5 juta yen. "Khusus di lokasi ini, fondasinya harus dalam karena tanahnya labil sehingga mahal," ujar Takahiro. Banyaknya dana yang dikeluarkan, menurut Takahiro, sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Bangunan akan lebih awet sehingga lebih hemat untuk jangka panjang. Menurut Project Manager NICCO Yumiko Nogami, pihaknya juga membekali warga dengan workshop tentang pembangunan rumah tahan gempa. Selama di Dlingo, Takahiro selalu berkeliling ke rumah penduduk untuk membimbing warga bagaimana membuat fondasi rumah tahan gempa. Sebagai negara yang selalu dilanda gempa, menurut Yumiko, warga Jepang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh korban gempa di Yogyakarta. "Kami tahu betapa menakutkan gempa itu. Karenanya, kami ingin melakukan sesuatu," kata Yumiko. Beberapa wali murid dan tukang bangunan cukup senang karena mendapat ilmu baru tentang bagaimana membuat rumah tahan gempa. Meskipun ingin meniru teknologi tahan gempa ini untuk rumah masing- masing, mereka mengaku tak punya biaya yang cukup. Seorang wali murid, Ngadiyo (35) yang rumahnya roboh, menyimpan keinginan besar untuk menerapkan teori yang sudah diterimanya. Sayangnya, jika dana rekonstruksi tahap kedua dari pemerintah cair, dia hanya akan memperoleh Rp 15 juta. Uang itu tak akan cukup untuk membuat fondasi minimal sedalam satu meter yang dianjurkan untuk rumah tahan gempa. "Beberapa tahun lalu, ketika pertama membangun rumah dengan fondasi 60 cm saja butuh Rp 30 juta, sekarang pasti lebih mahal," keluhnya.((AB9))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.