Membangun Kembali Aceh
    IND | ENG

Membangun Kembali Aceh

By : Hana 20 Januari 2005 News Categori : Uncategorized

Kamis, 20 Januari 2005, 09:52 WIB -- Membangun Kembali Aceh  Seluruh kawasan pantai tampak gersang. Tak satu pun yang menunjukkan bekas desa-desa pernah ada dua minggu lalu sebelum tsunami menghempas. Saya belum mengunjungi Aceh sebelum bencana tersebut, sehingga saya tidak memiliki bayangan untuk membandingkan situasi sebelum dan sesudahnya. Namun, di antara logam-logam peyot belit-membelit dan batu bata terserak berantakan, ada tanda-tanda pernah ada kehidupan di situ: foto keluarga, pakaian, kepala mungil boneka teddy beruang berwarna kuning. Di atas karang, seseorang telah meletakkan sendok dan keajaiban adanya piring-piring porselen utuh, memancarkan harapan bahwa pemiliknya kelak suatu hari akan kembali. Tampak di depan mata, di jalan menuju ke pantai ada sebuah rumah merah muda yang dinding-dindingnya dengan alasan tertentu  berupaya untuk menahan tekanan gelombang raksasa menerjang masuk dan kemudian serentak menyeret seluruh rumah 50 meter jauhnya terlepas dari fundasinya. Pintunya raib entah ke mana. Kami memasuki lubang besar yang menganga di tembok dalam upaya untuk berada lebih dekat kepada kedahsyatan kekuatan bencana tersebut. Ketikat meihat ke sekeliling, saya melihat tulisan di dinding: “Jangan mengganggu. Rumah ini ada yang punya”. Saya senang dengan tulisan dinding tersebut. Ketika memasuki penampungan pengungsi di sebuah sekolah di atas bukit, saya diberitahu oleh seorang pengungsi bahwa penduduk di desanya semula ada 6.000 jiwa, kini hanya tersisa 600 orang. Isteri dan kedua anaknya tidak termasuk yang selamat. Saat gempa dan gelombang besar menggulung, ia ada di sawah bersama dengan banyak petani lainnya. Tanpa pikir panjang, ia berupaya secepat mungkin mencapai daerah yang tinggi. Sementara itu, kebanyakan wanita dan anak-anak terjilat ombak raksasa di rumah-rumah mereka. Itulah sebabnya sebagian besar yang terlihat melenggang di kamp-kamp adalah kaum pria, ia menunjuk mereka dengan telunjuknya. Para pengungsi sudah diberi perawatan kesehatan dan bantuan makanan. Saya pun bertanya kepadanya mengenai apa yang akan ia perbuat selanjutnya. “Apa yang bisa saya lakukan selain duduk dan menunggu? Saya tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Rumah kami sudah musnah. Seluruh keluarga saya pun lenyap. Seluruh perlengkapan dan sawah saya tak sedikit pun tersisa. Memang beberapa dari kami siap untuk kembali, tetapi wanita-wanita masih trauma: trauma terhadap gempa, air laut dan hantu-hantu gentayangan.” Hari berlalu berganti minggu sejak tsunami menerkam serambi Mekah. Fase darurat di Banda Aceh pun berangsur-angsur berakhir. Sangat dibutuhkan naungan dan kakus yang memadai. Vaksinasi dibutuhkan untuk mencegah epidemi yang mulai menyebar. Sistem distribusi makanan masih belum lancar, khususnya bagi kamp-kamp kecil dan para pengungsi yang mencari naungan bersama dengan keluarga dan teman-temannya. Namun demikian, penilaian harus dilakukan untuk menentukan langkah-langkah membawa kembali ke hidup normal bagi setengah juta pengungsi di legala penjuru Aceh, Sumatra Utara dan Jakarta. Apa yang diperlukan oleh para pengungsi untuk mengembalikan lagi kehidupan di sana? Bagaimana caranya memberikan bantuan psikososial untuk menanggulangi trauma dan kehilangan yang diderita penduduk? Bagaimana membesarkan hati para korban untuk bertahan hidup? Dan yang penting bagaimana caranya untuk bisa melibatkan mereka dalam membangun kembali komunitas supaya pengungsian tidak berlangsung dalam jangka waktu lama? Pertanyaan akhir diajukan khususnya mengenai operasi darurat yang sampai sejauh ini dilaksanakan oleh badan-badan internasional dan pemerintah pusat Indonesia. Operasi untuk membangun kembali Aceh harus berakar kuat dalam budaya dan adat istiadat setempat. Relawan dengan maksud baik mereka untuk memberi pertolongan membutuhkan gambaran yang jelas mengenai kehidupan setempat untuk menunaikan misi sesuai dengan prinsip “do no harms” Selanjutnya, penting sekali untuk membiarkan orang-orang Aceh sendiri menentukan proses ke depan. JRS Indonesia telah ada di Aceh sejak 2001 dan telah menjalin ikatan erat dengan organisasi-organisasi setempat. Warga sipil melakukan pekerjaan mereka secara luar biasa. Penduduk kehilangan keluarga dan teman. Kantor-kantor dan harta benda musnah. Namun demikian, dengan antusias warga masyarakat akan memainkan peranan penting dalam membangun kembali Aceh. JRS menawarkan tempat pertemuan, 24 jam sambungan internet dan transportasi logistik kepada organisasi-organisasi setempat dalam membantu mereka sebagai pelaku utama dalam karya ke depan. Oleh Ingvild Solvang, Manajer Advokasi JRS Indonesia

© Airputih.or.id. All rights reserved.