Memahami Laut, Mencegah Bencana
    IND | ENG

Memahami Laut, Mencegah Bencana

By : Hana 26 Desember 2007 News Categori : Uncategorized

Rabu, 26 Desember 2007 05:24:17 Gelombang Pasang Memahami Laut, Mencegah Bencana Kategori: Tsunami (36 kali dibaca) Oleh: YUNI IKAWATI Setiap 26 Desember ingatan kita selalu kembali pada peristiwa bencana tsunami Aceh tahun 2004. Menjelang akhir tahun ini, penduduk pantai pun diingatkan akan ancaman lain, yaitu alun. Dampak buruk gelombang pasang saat purnama disertai angin kencang bakal kian besar di masa mendatang akibat naiknya permukaan laut. Tsunami Aceh sebagai bencana terbesar di dunia pada abad ini telah tertanam dalam ingatan semua orang. Terjangannya berdampak di 12 negara yang berada di sekeliling Samudra Hindia, antara lain India, Sri Lanka, Banglades, Thailand, dan Malaysia. Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara saja, gelombang pasang akibat gempa berkekuatan 8,9 skala Richter ini menewaskan 128.645 orang dan mengakibatkan 532.898 orang kehilangan tempat tinggal. Dalam waktu tiga tahun ini, serentetan gempa besar disertai tsunami di Indonesia menyusul megatsunami di perairan barat NAD itu. Dari rentetan bencana itu, yang berarti di antaranya adalah tsunami Pangandaran di pantai selatan Jawa Barat, 17 Juli 2006. Tsunami Pangandaran ini kian menyadarkan penduduk pantai di Indonesia bahwa ancaman bencana itu ada di mana-mana, termasuk di Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Guncangan dari sumber gempa berkekuatan 6,8 SR ini bahkan sampai ke Jakarta, yang berjarak 360 km. Sebelum kejadian ini, selatan Jawa Barat selama ini dianggap aman dari tsunami. Kenyataannya tsunami, meski tidak tergolong besar, menurut paleotsunami, pernah terjadi pada tahun 1921 dan 1600-an. Wilayah pantai selatan Jawa Barat dan pantai Banten kini menjadi pusat perhatian mengingat di daerah ini terdapat kawasan industri dan obyek wisata sebagai penggerak utama ekonomi di dua provinsi tersebut. Hal itulah yang mendasari penetapan peringatan tiga tahun tsunami dilaksanakan di Pantai Selago, Banten. Ina-TEWS Bencana-bencana tsunami yang telah terjadi itu dan bakal muncul di Padang pada waktu mendatang semakin mendorong pemerintah membangun sistem peringatan dini tsunami, antara lain dengan membangun seismograf, sistem pelampung pemantau tsunami, dan stasiun pengukur pasang surut air laut. Pada jejaring Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS), menurut Kepala Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika (PGN-BMG) Suhardjono, dilakukan pembangunan peralatan seismograf atau alat pencatat gempa yang bekerja secara online dan sistem komputer yang menganalisis data secara cepat serta sarana yang mengomunikasikan hasilnya. Hingga akhir Desember 2007 nanti beroperasi sekitar 90 seismograf. Dan total yang akan terpasang sampai akhir tahun depan adalah 160 seismograf. Adapun stasiun pengukur pasang surut air laut, ujar Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Parluhutan Manurung, untuk Ina-TEWS, hingga 26 Desember 2007 sudah terpasang 45, dari target 80. Stasiun-stasiun itu di antaranya 35 stasiun digital yang dibangun dengan dana dari APBN, yang meliputi 30 stasiun realtime memakai komunikasi VSAT dan 5 dengan GSM. Bantuan dari Amerika Serikat dan Jerman masing-masing 6 dan 4 stasiun realtime. Stasiun realtime di Jawa ada 9, yaitu di Banten (Ciwandan dan Binuangen), Jawa Barat (Palabuhanratu, Pamengpeuk, Batukaras-Pangandaran), Jawa Tengah (Cilacap), DI Yogyakarta (Sadeng), Jawa Timur (Prigi, Grajagan-Banyuwangi). Adapun di pesisir pantai utara (pantura) ada 4 stasiun digital dengan sistem komunikasi GSM, yaitu di Sunda Kelapa, Semarang, Jepara, dan Surabaya. Gelombang pasang Keberadaan stasiun pemantau pasang surut air laut ini tidak hanya berfungsi untuk mengonfirmasi dan melengkapi data dari stasiun seismograf tentang adanya potensi tsunami yang merusak, tetapi juga untuk memprediksi datangnya alun, yaitu gelombang pasang akibat bulan purnama yang dibarengi terpaan angin kencang akibat anomali cuaca, seperti yang terjadi sejak November lalu. Kejadian yang sama pernah terjadi pada 17 Mei di pantura Jawa. Dalam pemantauan Bakosurtanal, muka laut di Teluk Jakarta mencapai pasang tertinggi pada Sabtu (22/11) dan Minggu (23/11). Kenyataannya, banjir pasang telah melanda pantai Jakarta Rabu (19/12). Menurut Kepala Penelitian dan Pengembangan BMG Mezak Ratag, banjir pasang masih akan mengancam hingga akhir tahun 2007. Angin pasat di sekitar 0 hingga 20 derajat lintang utara dari bagian tengah Pasifik berembus sangat kuat ke arah barat. Hal ini akibat La Nina yang masih berlangsung hingga sekitar Februari. Fenomena penyimpangan cuaca ini ditunjukkan oleh mendinginnya suhu 2 derajat Celsius di bawah normal. "Kolam" dingin ini menimbulkan daerah tekanan tinggi yang mendorong masa udara ke arah barat atau ke Asia dan bagian utara Indonesia serta menyebabkan arus laut yang besar. Arus laut yang kuat dari Pasifik ke Laut China Selatan hingga ke Sumatera ditunjukkan oleh panen ubur-ubur melebihi biasanya di pesisir timur Sumatera. Arus laut ini kemudian dibelokkan ke selatan dari daratan Asia di sekitar Vietnam-Thailand dan Malaysia menuju ke pesisir utara Jawa bagian barat. Bagian utara Indonesia akan mendapat curah hujan yang jauh di atas normal, sedangkan bagian selatan hanya tempat-tempat tertentu mendapat angin dengan kecepatan 15-25 knot, yaitu antara lain Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Timor. Daerah tersebut mendapat curah hujan besar secara terputus-putus. "Jangkauan prediksi sistem ini hanya 3-4 hari ke depan. Jadi harus terus dimonitor perubahan pola anginnya," tutur Mezak. Ditambahkan oleh Wahyu W Pandoe, peneliti dari Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, berdasarkan data pengamatan pasang surut Bakosurtanal dan penghitungan prediksi Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, pada sekitar pukul 10.00 WIB, tanggal 24 Desember, terjadi puncak pasang laut, yaitu naik 0,65 meter dari muka laut rata-rata. Gelombang pasang yang masuk ke daratan pada pantai yang landai dan tiupan angin berkecepatan 15 knot. Sementara itu, Parluhutan Manurung mengatakan, ancaman banjir akibat gelombang pasang akan kian meningkat, terutama di kota-kota besar di pantura Jawa. Hal ini karena adanya subsiden atau penurunan muka tanah di kawasan pantai. Data pasang surut dan GPS yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia, seperti Semarang, Jepara, Tanjung Priok, dan Sorong, menunjukkan kenaikan muka air laut. Apabila tingkat global kenaikannya 3 mm per tahun, di Indonesia berkisar 5 hingga 7,5 mm per tahun. Tinggi muka laut terhadap daratan di Indonesia lebih besar karena memasukkan faktor subsiden. Data mutakhir Parluhutan mengusulkan, dalam menghitung kenaikan muka air laut, hendaknya menggunakan patokan yang berdasarkan data pengamatan mutakhir. Hingga saat ini patok yang digunakan untuk itu masih menggunakan patok yang ditetapkan pada tahun 1924. Padahal kondisi ketinggian daratan terhadap dasar laut telah banyak berubah. "Penggunaan data lama ini berdampak negatif dalam perencanaan pembangunan infrastruktur di tepi pantai, seperti pelabuhan dan sistem drainase," ujarnya. Selain mengetahui adanya subsiden dan kenaikan permukaan air laut karena mencairnya lapisan es di kutub, berbagai manfaat dapat diraih dalam penerapan data pasang surut air laut. Data ini digunakan untuk mengetahui pergeseran garis pantai dan abrasi pantai. Hal ini diperlukan dalam pembangunan semua infrastruktur di pantai seperti tanggul dan pelabuhan, termasuk juga tambak. Setiap kapal laut yang hendak berlayar memerlukan informasi pasang surut air laut untuk navigasi agar pelayaran aman dari ancaman kandasnya kapal karena terkena karang.((*))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.