Lebaran Haji tanpa Daging dan Ketupat di Calang
    IND | ENG

Lebaran Haji tanpa Daging dan Ketupat di Calang

By : Hana 20 Januari 2005 News Categori : Berita

Kamis, 20 Januari 2005, 20:16 WIB -Berita Umum- Lebaran Haji tanpa Daging dan Ketupat di Calang ACEH JAYA, PENA INDONESIA (20 Januari 2005) - Semua dapur berasap di Bukit Curik, kota Calang, kota pesisir barat Aceh yang paling parah diamuk tsunami, hari ini. Tapi, hanya ada nasi, sayur kangkung dan ikan asin yang tersedia kali ini. Idul Adha, atau Lebaran Haji, adalah perayaan istimewa bagi muslim di Aceh. Sehari sebelum Idul Adha, warga Aceh biasa menyambutnya dengan acara “meugang”, dengan pesta dan berkumpul bersama keluarga. Mereka menyiapkan makanan terenak, nasi, ketupat, daging, sop rendang, serta semur dengan puluhan macam bumbu berbeda.Ini pertama kali kami tak bisa merayakan meugang secara semestinya,” kata Iskandar Gading, pria berusia 59 tahun, salah satu penghuni tua kota ini, kepada wartawan Kantor Berita Pena Indonesia Alfian Hamzah. Bahkan kangkung pun terlalu mewah, harus dibeli Rp 2.000 setiap ikat. “Dulu, bahkan orang yang paling miskin di kota ini akan memaksakan diri berhutang untuk bisa membeli daging demi merayakan meugang,” kata Iskandar. Iskandar adalah satu dari sekitar 2.000 warga Calang yang selamat dari gempuran tsunami. Gempa dahsyat di laut yang disertai ombak besar ke daratan meluluhlantakkan Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Tiga perempat penduduknya tewas atau hilang. Tak ada satupun bangunan di kota itu yang utuh berdiri. Tidak kantor kabupaten dan kantor-kantor pemerintahan lainnya. Tidak pula masjid besar yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, salah satu yayasan bekas Presiden Soeharto. Meugang dirayakan tiga kali dalam setahun kalendar Islam: sehari menjelang Ramadhan (ketika Muslim berpuasa sebulan penuh), pada Idul Fitri (hari raya yang menandai akhir puasa) dan pada Idul Adha (hari raya haji dan penyembelihan hewan kurban). Meugang pada Idul Adha lebih istimewa di Aceh, suatu tradisi yang jarang ditemukan di kalangan Muslim di Jawa. Jika Muslim Jawa biasa pulang kampung pada Idul Fitri, orang Aceh mementingkan mudik pada Idul Adha. “Pemuda yang sekolah atau bekerja di rantau akan kembali berkumpul bersama keluarga,” kata Iskandar. “Para suami pun bisa dicerai istrinya jika tidak pulang untuk merayakan meugang di rumah bersama keluarga.” Tapi, bagi penduduk Calang hari ini, “meugang” tak bisa dirayakan semestinya bukan hanya karena tiada ketupat dan daging. Mereka justru berduka kehilangan sanak-saudara. Iskandar kehilangan istrinya yang tewas akibat tsunami. Dia hanya bisa berkumpul dengan dua putrinya, Eka Fitriani (25) dan Dwi Farmawati (21). Satu putranya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dalam sebuah insiden berdarah yang melibatkan aparat keamanan Indonesia. Fitriani dan Farmawati mengaku tak akan bisa ikut shalat Idul Adha berjamaah. “Kami tak punya mukena dan sarung,” kata Fitriani. Beberapa hari lalu memang ada pembagian sarung. Tapi, pembagian itu dipusatkan di pos komando tentara yang terletak di pantai. Fitriani mengaku dijanjikan sarung hanya jika mau duduk dan ngobrol dengan para tentara. “Saya tak mau memenuhi permintaan mereka,” katanya. Iskandar termasuk warga kaya di Calang. Pada hari ketika tsunami menyerbu kotanya, dia berencana pindah ke rumah baru, rumahnya yang keempat. Kini semua rumahnya lenyap dari muka bumi, termasuk rumah barunya. Hari ini, bersama dua putrinya dia mencoba menengok salah satu bekas rumah, dan mencoba mangais-ngais apa yang tersisa. Mereka hanya menemukan beberapa porselin retak. Keluarga Iskandar kini tinggal di gubuk darurat yang terserak di antara ratusan gubuk darurat lain di Bukit Curik pinggiran kota. Ada sekitar 2.000 orang yang kini bernaung di perkampungan darurat mirip perkampungan pengemis di Jakarta itu—tanpa air bersih dan tanpa jamban.

© Airputih.or.id. All rights reserved.