Kemesraan manusia dan Alam di Sekitar Kelud
    IND | ENG

Kemesraan manusia dan Alam di Sekitar Kelud

By : Hana 05 November 2007 News Categori : Uncategorized

Senin, 05 November 2007 06:13:47 Vulkanologi Kemesraan Manusia dan Alam di Sekitar Kelud Kategori: Gunungapi (317 kali dibaca) LAKSANA AGUNG SAPUTRA dan IWAN SETIYAWAN Aktivitas Gunung Kelud terus mendebarkan. Sumber panas yang berasal dari magma semakin mendekati dan memanasi air danau kawah. Kemarin air danau kawah yang biasanya hijau bahkan berubah menjadi putih keruh. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono menambahkan, Minggu (4/11), material abu ditemukan di sekitar Pos Pengamatan Gunung Api Kelud. Namun, pihaknya belum bisa memastikan asal abu itu, dari Gunung Kelud atau bukan. "Kami sudah mengambil sampel abu untuk diteliti," katanya. Jika abu itu terbukti berasal dari Gunung Kelud, lanjutnya, artinya sejauh ini telah ada dua material yang keluar, yaitu asap dan abu. "Kalau definisi meletus itu adanya pelepasan material vulkanik, silakan mendefinisikan sendiri," ujar Surono. Dengan demikian, kata Surono lagi, fase erupsi yang mulai terjadi pada Sabtu lalu belum mampu membuka sumbat lava. Energi sebesar itu hanya mampu mengangkat sumbat lava. "Kalaupun nanti ada letusan, energinya pasti lebih besar dari dua kali fase erupsi yang telah terjadi," paparnya. Sebagai perbandingan pengalaman tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi saat Merapi meletus, dengan kondisi gempa vulkanik dan tremor serta tanda-tanda lainnya yang sama, saat itu Merapi sudah mengeluarkan awan panas. Sejak 1940-an Kelud bisa dikatakan selama ini sangat bersahabat dengan pendatangnya. Meski pernah mengeluarkan letusan dahsyat beberapa kali, setidaknya sejak tahun 1940-an gunung api itu sudah menjadi sumber penghidupan bagi sejumlah orang. Karena itu, warga yang diminta mengungsi pun merasa tidak ada masalah dengan aktivitas Kelud sekarang ini. Mbah Maidi (80), pengungsi yang tinggal di penampungan di sebuah rumah di Desa Tawang, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, misalnya, kemarin terlihat santai saja. Ke tempat pengungsian tersebut Maidi bahkan hanya membawa dua tas kusam dan peci hitam yang setia menghiasi kepalanya. "Bawa badan saja, wong saya tidak punya apa-apa," katanya sambil tersenyum. Pagi itu Maidi ditemani Mbah Suparni (75) berjalan-jalan mengunjungi tetangga-tetangga mereka yang tinggal di tiga penampungan lain di Desa Tawang. Seperti bocah, para pengungsi Kelud tersebut terlihat begitu kompak menyambut pagi. Alih-alih cemas seperti dibayangkan orang, kedua kakek tadi malah bercerita tentang keakrabannya dengan Kelud. Ya, mereka tampak begitu damai ketika sebagian orang tegang memantau perkembangan gunung api yang terus bereskalasi itu. Memandikan cucu Di tengah jalan-jalannya itu Maidi, antara lain, bercerita tentang kebiasaannya memandikan cucu kesayangannya di kawah Kelud. Selain itu, dia juga berkisah tentang hangatnya sinar matahari pagi di sekitar kawah. "Saya dan semua warga Desa Sugihwaras setiap hari minum dan mandi air rembesan kawah Kelud. Hanya itulah satu-satunya air buat kami," timpal Suparni tak mau ketinggalan. Singkatnya, semua kisah tentang Kelud terdengar begitu damai dalam cerita Maidi ataupun Suparni. Jika pada saat yang bersamaan tim pemantau tegang menantikan Kelud muntah, bukan berarti kedua orangtua tersebut meremehkan Kelud. Itu juga bukan berarti mereka menganggap enteng segala kalkulasi teknis yang menghitung mundur momentum letusan gunung api yang satu ini. Hanya saja, Maidi dan Suparni yang telah mengalami tiga kali letusan Kelud pasrah terhadap siklus gunung api itu yang telah menyusui mereka selama ini. "Gunung Kelud adalah sumber penghidupan kami, dan kami telah mengakar di sini. Saya pasrah kepada Tuhan yang memberi tugas hidup," tutur Maidi, kelahiran Tulung Agung yang pindah ke lereng Kelud pada tahun 1948. Mudah cari penghidupan Menurut cerita para pengungsi Kelud, dahulu tersiar kabar bahwa di lereng Kelud mudah mencari penghidupan. Sebab, di sana ada sejumlah perusahaan perkebunan kopi dan cengkeh yang berjaya. Akhirnya berdatanganlah masyarakat ke lereng gunung api itu. Lalu mereka bekerja menjadi buruh di perkebunan-perkebunan tersebut sambil bercocok tanam di lahan seputar rumah mereka masing-masing. Di tegalan seputar rumah pada umumnya warga menanam nanas. Alasannya, jenis tanaman ini cocok dibudidayakan di lereng Kelud. Selain itu, warga juga menanam gandum, kacang, cabai, dan ketela. Jarmono (40), warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, misalnya, termasuk yang menanam cabai "terkini" di kawasan Kelud. Ladangnya berada 5-7 kilometer di utara kawah Kelud. Menurut Jarmono, tanah di daerahnya sangat subur dan cocok untuk menanam palawija atau sayuran. Setelah Gunung Kelud meletus tahun 1990, guguran abu vulkanik makin menyuburkan lahannya. Karena itu, meski sekarang ini mengungsi, Jarmono beserta puluhan warga Kebonrejo setiap pagi selalu menjenguk ladang mereka. Mesra, barangkali kata inilah yang pas untuk menggambarkan hubungan Kelud dengan masyarakat yang menyusu di lerengnya.((INA/CHE))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.