Bencana Tsunami dan Masa Depan Kita
    IND | ENG

Bencana Tsunami dan Masa Depan Kita

By : Hana 09 Januari 2005 News Categori : Uncategorized

Minggu, 9 Januari 2005, 23:30 WIB -- Bencana Tsunami dan Masa Depan Kita From:  faisal@c... Date:  Sun Jan 9, 2005  10:52 pm Subject:  Tsunami dan masa dean kita Rekan-rekan, Saya menumpahkan gagasan-gagasan kita di dalam tulisan untuk Kompas hari Senin. Jika kerangka pemikiran ini dipandang perlu kita kembangkan untuk diperjuangkan lebih lanjut, dengan senang hati saya menunggu kritik yang pedas sekalipun. Sebagian sudah dituangkan di dalam Petisi, tapi kita terlambat menyebarkannya ke peserta konperensi. Sekalipun demikian petisi tetap diserahkan ke kedubes dan lembaga2 internasional. Mohon maaf koreksi dan usulannya belum sempat diakomodir. Tabik, Faisal Basri ===== BENCANA TSUNAMI DAN MASA DEPAN KITA (Faisal Basri) Bencana gempa bumi dan tsunami 26 Desember lalu telah menyayat hati masyarakat dunia. Gelombang simpati membahana. Aliran bantuan barang dan uang mengalir deras. Masyarakat dunia tak sekedar berduka, tetapi juga merasa bertanggung jawab atas derita jutaan manusia yang tewas, terluka, kehilangan tempat berteduh dan harta benda serta masa depan. Tak ada silang pendapat, tak ada perbedaan pandangan politik. Yang mengemuka cuma satu: solidaritas kemanusiaan yang melamapaui tembok-tembok perbedaan kebangsaan, suku, ras, agama, dan keyakinan politik. Dalam bilangan hari konperensi internasional yang menghadirkan puluhan kepala pemerintahan dan petinggi lembaga-lembaga internasional bisa digelar di Jakarta. Mereka berlomba memperbesar komitmen dana, menawarkan berbagai macam bantuan. Sejarah akan mencatat bahwa inilah gelombang bantuan terbesar selama ini. Di dalam negeri bencana ini juga telah menggugah seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Solidaritas luar biasa yang ditunjukkan oleh segenap lapian masyarakat telah memancarkan kembali kesadaran betapa kita memiliki modal dasar sosial yang tak ternilai untuk merajut masa depan yang penuh harapan. Kini berpulang kepada bangsa Indonesia sendiri: apakah mampu menjadikan bencana ini sebagai titik awal baru untuk bangkit dari keterpurukan di hampir segala bidang. Bukti awal bahwa kita sudah berubah adalah cara kita dalam menyikapi dan menangani bencana. Sejauh ini pemerintah belum menyatakan bencana gempa bumi dan tsunami yang memporakporandakan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan beberapa daerah di Sumatra Utara sebagai “darurat nasional”. Terlepas dari ada atau tidaknya payung hukum tentang darurat nasional, yang kita bayangkan ialah suatu reaksi cepat dan upaya total berskala nasional untuk menanggulangi bencana demi dan hanya untuk alasan kemanusiaan. Dari sisi ini harus diakui upaya kita masih terbatas. Masa berkabung nasional hanya tiga hari saja. Kita pun belum sepenuhnya melakukan mobilisasi potensi kekuatan nasional. DPR tidak mempercepat masa reses. Kita memang memiliki Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana Alam, namun bisa dipastikan bahwa Badan ini ukurannya terlalu “sempit” untuk dikenakan menghadapi bencana sedahsyat yang kita alami ini. Sudah lebih dua minggu pascabencana, kita belum memiliki pemetaan dan sisterm informasi tentang lokasi berdasarkan intensitas kerusakan, jumlah korban dan pengungsi, perkiraan jenis dan jumlah kebutuhan, posisi stok maupun aliran bantuan barang dan dana. Di sisi lain kita menyaksikan betapa cekatannya pemerintah mengumumkan kebutuhan dana yang dari waktu ke waktu jumlahnya menggelembung berlipat ganda. Pemerintah juga sangat cekatan memperkirakan nilai moratorium utang luar negeri yang hendak diusulkan di forum pertemuan Paris Club pada 12 Januari mendatang. Tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden keluar dengan angka Rp 30 triliun untuk moratorium utang ini, padahal pemerintah hanya keluar dengan angka Rp 18 triliun untuk kebutuhan total penanganan bencana. Kecekatan juga tercermin dari telah ditandatanganinya utang baru dan pengalihan proyek-proyek pinjaman atas nama bencana tsunami. Pemerintah juga mungkin telah siap dengan daftar proyek rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana. Pembangunan kembali sarana dan prasarana fisik mungkin bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Namun tantangan terberat yang kita hadapi adalah membangun kembali asa jutaan manusia dengan seperangkat sistem sosialnya, dengan memelihara nilai-nilai dan karakteristik lokal masyarakat sehingga kebhinekaan bangsa tak mengalami reduksi. Tak terkandung sedikit pun niat kita untuk memperkeruh masalah, apalagi menghumbar sumpah serapah, karena dengan begitu kita hanya akan menambah pilu rintihan para korban dan cibiran masyarakat internasional. Kita cuma berharap agar bencana ini ditangani tidak secara biasa dengan cara-cara dan prosedur yang normal, melewati lorong-lorong birokrasi yang kaku, dengan pengorganisasian dan mekanisme yang baku. Pelibatan masyarakat lokal yang terkena bencana merupakan prasyarat mutlak dan seluruh program hendaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari penyelesaian konflik—sekali dan untuk selamanya. Partisipasi aktif masyarakat lokal merupakan bagian terintegrasi dari upaya membangkitkan kembali asa masyarakat, sehingga muncul rasa memiliki yang kuat atas keseluruhan program, bukan sebaliknya mereka hanya sebagai penonton dan pelaku pasif. Jangan sampai terlontar kesan sejak dini dan juga di kemudian: “Apa lagi yang hendak dilakukan “orang Jawa” di sini.” Yang kita pulihkan bukan semata-mata prasarana dan sarana fisik, yang jauh lebih penting dan mendasar ialah manusia dan segala aspek kemanusiaannya. Dalam kaitan ini pula diperlukan penanganan khusus pada penanggulanan anak-anak korban bencana untuk menjamin masa depan mereka dan juga masa depan daerah bencana. *** Kita berharap pemerintah mengikuti langkah Thailand dan India yang menolak pinjaman luar negeri dengan persyaratan yang sangat lunak sekalipun. Janji Presiden yang tegas-tegas menyatakan tak akan menambah pinjaman untuk menangani bencana hendaknya betul-betul ditindaklanjuti oleh seluruh jajaran di bawahnya. Tindakan konkrit untuk itu ialah segera membatalkan semua kesepakatan pinjaman pascabencana yang sudah terlanjur ditandatangani. Prinsip kedua yang perlu ditegakkan ialah menyeleksi secara selektif tawaran moratorium utang (penundaan sementara pembayaran ciciclan dan bunga pinjaman). Jika opsi-opsinya sekedar penundaan, maka bisa saja cost of debt akan naik, hanya saja pembayarannya dialihkan kemudian. Cara ini bisa melenakan pemerintah, bahkan bisa menjadikan bencana tsunami sebagai ”kuda tunggangan”. Jangan sampai justru moratorium utang memberikan keleluasan kepada pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi baru bagi pengusaha-pengusaha besar—apalagi yang bermasalah—dengan dalih untuk mendongkrat investasi dan pemulihan ekonomi. Toleransi maksimal yang bisa ditempuh pemerintah ialah opsi-opsi yang bisa mengurangi cost of debt, setidaknya lebih baik daripada opsi-opsi yang selma ini kita peroleh dari Paris Club. Yang harus diupayakan secara maksimal adalah debt relief yang meliputi penjadwalan kembali pembayaran utang dengan syarat-syarat yang bisa mengurangi cost of debt dan pengurangan utang. Dalam kaiannya dengan pengurangan utang, upaya hendaknya dititikberatkan pada pengurangan hingga penghapusan utang atas proyek-proyek yang hancur total dan rusak berat akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Sedangkan permintaan debt relief atas proyek-proyek lainnya sepatutnya diupayakan di luar kerangka bencana. Jika kita telah mampu menyusun sistem dan organisasi penangan bencana secara komrehensifyang melibatkan seluruh stakeholders bangsa, kiranya bantuan masyarakat dalam dan luar negeri serta bantuan hibah negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga internasional bisa dijadikan sebagai penggerak awal untuk memulihkan daerah-daerah bencana. Seandainya pemerintah bisa menjaga kepercayaan masyarakat domestik dan internasional, bukan tidak mungkin kontribusi bantuan nonpinjaman akan berperan penting hingga jangka menengah. Satu potensi besar yang bisa dipertimbangkan ialah kontribusi dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) seluruh propinsi dan kabupaten. Kita memiliki keyakinan kuat bahwa seluruh daerah akan bersedia dengan tulus menyisihkan sebagian dari anggarannyauntuk meringankan beban pembiayaan bagi rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana. Skema ini bisa dirundingkan dengan melibatkan DPR, DPD, para gubernur dan bupati/walikota. Adapun jumlahnya bisa didasarkan pada persentase tertentu dari pengeluaran pembangunan atau pengeluaran modal (capital expenditure) sesuai dengan kemamuan keuangan daerah masing-masing dan bisa diterapkan selama dua sampai tiga tahun ke depan. Pendayagunaan dana dengan skema ini dan juga penghimpunan bantuan dari masyarakat luas dalam bentuk barang, uang dan tenaga niscaya akan memupuk semangat kebersaman masyarakat dan seluruh komponen bangsa. Sudah saatnya bangsa ini membuka lembaran baru dengan tekad yang kuat untuk mengakhiri segala praktek bernegara yang terbukti membuat kita terpuruk berkepanjangan karena fondasinya yang rapuh. Bahu membahu seluruh elemen masyarakat dan pemerintah hendaknya tak sebatas pemberian bantuan, melainkan lebih jauh dari itu dengan memadukan segena kekuatan di dalam satu kerangka jalinan sinergis. Kebutuhan akan hal ini sangat mendesak terutama dalam menjamin agar seluruh bantuan bisa tersalurkan secara efisien dan efektif, tanpa sesen pun tercecer ke tangan-tangan kotor yang ternyata masih berkeliaran di tengah penderitaan rakyat. Sungguh pemerintah akan sangat diuntungkan dan sekaligus mengatrol kredibilitas mereka seandainya pelibatan elmen nonpemerintah tak sekedar sebatas wacana dan diundang dalam rapat-rapat serta memberikan masukan, melainkan terlibat secara utuh sejak awal perencanaan, pengorganisasian, hingga proses monitoring. Niat baik telah berkali-kali dikumandangkan oleh Presiden. Paling tidak niat baik itu sudah tercermin dari pembukaan akses seluas-luasnya bagi masyrakat untuk mengetahui segala aspek dari penanganan bencana ini. Akhirnya, pelajaran berharga yang patut pula kita tarik dari cobaan berat ini ialah, ternyata kita selama ini bernegara dan berbangsa secara amatiran, membangun tanpa konsep, miskin visi, dan membangun dengan cara tambal sulam. Misalnya, salah satu yang paling terasa, kita baru sadar bahwa kekuatan tentara kita sedemikian sangat rapuhnya dengan persenjataan dan perlengkapan yang sangat minim. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang beradab, yang menegakkan nilai-nilai kepatutan. Kita buktikan bahwa kita serius memberantas korupsi. Jika kita bisa membuktikannya, mulai sekarang juga, niscaya kita akan mampu mengatasi bencana ini dan sekaligus keterpurukan bangsa tanpa harus menambah utang. *** sumber : http://groups.yahoo.com/group/komisi-darurat/message/149

© Airputih.or.id. All rights reserved.