Belajar dari Gempa Jepang
    IND | ENG

Belajar dari Gempa Jepang

By : Hana 07 Januari 2005 News Categori : Uncategorized

Jumat, 7 Januari 2005, 22:00 WIB -- Belajar Dari Gempa Jepang Oleh : Arif Satria Dosen IPB; Mahasiswa Program Doktor di Kagoshima University Jepang. Sungguh tragis, gempa di Iran pada tanggal 26 Desember 2003 harus diperingati dengan gempa yang lebih dahsyat lagi di Aceh pada tanggal yang sama, 26 Desember 2004. Padahal rehabilitasi pasca gempa di Alor dan Nabire belum selesai. Bagi yang menyaksikan televisi Jepang, gempa-tsunami Aceh makin menyambung panjangnya  sajian berita gempa. Karena, pada 23 Oktober 2004 lalu, salah satu provinsi di Jepang, Niigata, juga baru terkena gempa dengan kekuatan 6,8 SR. Akibatnya 7100 rumah hancur, 3100 fasilitas publik rusak, dan lebih dari 100 ribu orang dievakuasi. Sebelumnya, sembilan tahun lalu, Kobe juga tergoyang gempa dengan kekuatan 7,3 SR. Korbannya adalah 43 ribu orang terluka parah, 6400 kehilangan tempat tinggal, 7500 gedung terbakar, dan 350 ribu orang dievakuasi (the Japan Journal, 2004). Dua kasus gempa di Jepang tersebut tergolong besar, sementara gempa kecil sudah merupakan menu rutin masyarakat Jepang. Bagaimana kita belajar dari mitigasi bencana gempa di Jepang ? Model Pembangunan Pasca Gempa The Japan Journal edisi Desember 2004 kebetulan juga mengungkap bagaimana kita dapat belajar dari penanganan gempa di Kobe. Edisi ini ditujukan untuk memperingati sepuluh tahun gempa Kobe yang terjadi pada 17 Januari 1995 yang lalu. Ada beberapa aspek penting dalam pembangunan pasca gempa di Kobe. Pertama, adalah langkah penyelamatan dan pemulihan. Dalam rangka penyelamatan korban gempa di Kobe, pada hari pertama terdapat sebanyak 20 ribu relawan, namun dalam tiga bulan jumlah relawan menjadi 1,13 juta orang. Dan, secara total telah mencapai 1,4 juta relawan. Mereka bertugas membersihkan puing-puing gempa, menjembatani antara pemerintah dan korban, menyediakan makanan, dan lain sebagainya. Memang diakui bahwa persoalan banyaknya jumlah relawan tersebut juga ada, mengingat tidak semua relawan punya pengalaman dan keahlian. Sehingga, konflik pun muncul. Namun bagi Jepang waktu itu, justru nilai kesetiakawanan (volunteerism) itulah yang penting. Semangat untuk membantu sesama itulah yang mereka junjung. Karena itulah tahun 1995 disebut sebagai sebagai hYear One of Volunteerismh. Kedua, adalah rekonstruksi. Pada Juli 1995, pemerintah baru mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada gcreative reconstructionh yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era baru dan masyarakat matang (mature stage of society). Nampaknya mereka meminjam kerangka Rostow dalam model pembangunannya. Mereka punya visi gmewujudkan masyarakat baru menyongsong abad 21, dan menciptakan kota tahan gempa sehingga warga bisa merasa confidenth. Dan, yang jauh lebih penting adalah cita-cita gmature societyh tersebut, dimana upaya membangun gcreative civil societyh yang berbasis kerjasama antara warga dan pemerintah menjadi visi besarnya. Termasuk dalam rekonstruksi ini warga dilibatkan dengan diberi kesempatan membentuk greconstruction committeeh yang didampingi konsultan professional. Mereka sebagai mitra pemerintah dalam rekonstruksi ini. Sehingga, langkah pertama pemerintah dalam rekonstruksi ini adalah mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua diskusi sosial-ekonomi. Dalam tiga tahun, seluruh infrastruktur, seperti jalan, rel kereta api, dan sarana komunikasi lainnya selesai, dan bahkan jauh lebih bagus dari sebelumnya. Begitu pula lapangan kerja dan perumahan baru telah dibuka, serta hcreative civil societyh terbentuk. Dan, dari survey terhadap korban bencana, ditemukan bahwa 82,8% responden mengatakan sudah pulih. Jadi, tidak hanya rekonstruksi fisik dan ekonomi yang terjadi, tetapi juga rekonstruksi sosial-politik. Ketiga, adalah keselamatan dan keamanan. Pasca gempa pemerintah Kobe mendorong adanya komunitas pencegahan bencana dimana warga disiapkan untuk siap setiap saat ketika terjadi gempa. Selain itu langkah antisipasi bencana kemudian menjadi agenda nasional dengan mempersiapkan jaringan komunikasi yang lebih baik yang kondusif pada saat-saat darurat. Ini mengingat mereka sadar bahwa langkah pemerintah Kobe pada saat bencana terjadi dianggap lambat karena karena lemahnya sistem komunikasi darurat. Perbaikan sistem ini ternyata berhasil ketika Oktober 2004 lalu, Niigata dihantam gempa. Dalam tujuh menit, angkatan bersenjata Jepang sudah bertindak dan 30 menit kemudian informasi sudah terkumpul. Lalu, pemerintah provinsi lainnya, Hyogo, langsung mengirim ahli pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat bahaya rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual dan psikologi. Model Penyuluhan Gempa Yang jelas masyarakat Jepang kini sangat sadar betapa gempa setiap saat mengancam. Ini adalah wujud dari keberhasilan penyuluhan gempa. Saat ini, tidak hanya konstruksi rumah dan gedung yang banyak dibuat tahan gempa, serta bagaimana cara menata peralatan furniture supaya tidak jatuh, tetapi juga mereka telah disiapkan dengan langkah-langkah dalam menghadapi gempa. Langkah-langkah praktis tersebut dikenalkan di sekolah-sekolah dasar, termasuk bagi setiap warga asing yang akan tinggal di Jepang. Disamping sering berupa peragaan, juga disebarkan buku kecil yang berisi prosedur darurat gempa dalam bentuk gambar dan tulisan yang singkat, padat, menarik, dan mudah dipahami. Sebagai contoh, di Jepang, diajarkan bahwa langkah pertama adalah mencari selamat dengan diam di bawah meja dengan bantal di atas kepala. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepala dari benda-benda yang mungkin jatuh dan mengenai kepala kita. Ini berbeda dengan di Indonesia, yang terbiasa langsung pergi keluar gedung atau rumah yang ditujukan untuk menghindari reruntuhan. Selain itu, di Jepang, sebagian dari mereka juga dianjurkan untuk cepat membuka pintu, namun hanya untuk mempermudah akses keluar setelah gempa berhenti, dan bukan untuk lari keluar gedung. Langsung keluar gedung dianggap lebih beresiko, daripada diam di bawah meja. Ini mengingat banyaknya gedung-gedung tinggi di Jepang. Bila api kompor masih menyala, sangat dianjurkan untuk lebih dulu mematikan gas, dan kalau api sudah mulai menyala besar sebagai tanda kebakaran mereka mesti mematikan dengan pemadam kebakaran yang harus disediakan di setiap rumah. Dalam buku kecil tersebut juga dijelaskan soal tsunami. Ini dikhususkan bagi mereka yang tinggal di dekat pantai. Begitu terjadi gempa, langkah pertama harus mencari tempat atau lahan yang tinggi. Tsunami biasanya datang begitu cepatnya setelah gempa. Seluruh prosedur seperti itu sudah mendarah daging pada masyarakat Jepang. Tentu ini merupakan salah satu keberhasilan program penyuluhan antisipasi gempa. Hal ini ditambah lagi dengan peran televisi yang selalu menyiarkan warning yang diberikan lembaga-lembaga riset yang ada. Begitu terjadi gempa, dalam kurang dari dua menit telah ada tulisan di setiap program TV bahwa telah terjadi gempa dengan rincian kekuatannya. Tidak hanya gempa, bencana angin taifu juga selalu mengancam. Namun, angin taifu dapat lebih dini terdeteksi dan disiarkan TV seminggu sebelumnya. Pergerakan angin taifu di pasifik selalu diperlihatkan di layar TV setiap saat, sehingga kita tahu dimana posisi angin taifu. Artinya, masyarakat memang telah disiapkan untuk menghadapi bencana, dengan sistem deteksi dini, sistem diseminasi informasi, serta prosedur standar saat terjadi bencana. Toh, meskipun sudah begitu maksimalnya upaya untuk mitigasi bencana, Jepang masih kewalahan juga menghadapi bencana seperti gempa yang terjadi di Niigata, serta serangan taifu selama September-Oktober yang lalu. Apalagi bagi kita yang memang kurang siap dan kurang peduli akan hal-hal seperti itu. Karena itu, hikmah terbesar yang bisa kita ambil dari kasus gempa Aceh ini adalah bahwa pemerintah Indonesia mesti mulai sadar tentang pentingnya mitigasi bencana alam. Dari mulai sistem deteksi dini yang memang mengandalkan riset, sistem informasi darurat, manajemen rehabilitasi pasca gempa, serta penyuluhan gempa. Bencana memang diluar kehendak kita, sehingga yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan usaha antisipasi untuk meminimalkan dampak.

© Airputih.or.id. All rights reserved.