Banjir Bandang, Kado Dua Tahun Setelah Tsunami
    IND | ENG

Banjir Bandang, Kado Dua Tahun Setelah Tsunami

By : Hana 26 Desember 2006 News Categori : Uncategorized

Selasa, 26 Desember 2006 10:01:55 bencana alam Banjir Bandang, Kado Dua Tahun Setelah Tsunami Kategori: Tsunami (720 kali dibaca) Ahmad Arif Asam dari gunung, garam dari laut. Dalam gemuruh air raya, keduanya bertemu dan meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam dalam dua tahun ini. Tanggal 26 Desember 2004, air laut telah menghancurkan Aceh. Lebih dari 168.000 nyawa melayang akibat tsunami. Hingga kini, luka akibat tsunami belum sembuh betul. Kerusakan rumah serta infrastuktur belum lagi separuh yang selesai dibangun. Dari 130.000 rumah yang hancur, baru 57.000 unit selesai. Kini, juga di penghujung Desember, giliran air dari gunung mengepung tanah Serambi Mekkah. Hingga Senin (25/12), banjir dan longsor telah melanda 49 kecamatan di enam kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Aceh Tamiang, tercatat dilanda banjir terhebat, di mana hampir semua wilayahnya terendam banjir. Korban pun kembali berjatuhan. Sedikitnya 73 orang ditemukan tewas, dan ratusan masih hilang. Jumlah pengungsi yang rumahnya tenggelam lebih dari 200.000 jiwa. Sawah dan kebun kelapa sawit yang hancur mencapai ribuan hektar. Adakah kaitan antara air bah dari gunung dan air laut tsunami? Sepintas, dua bencana yang datang dari arah berbeda ini memang tak saling berkaitan. Tetapi, ribuan balok kayu gelondongan yang datang bersama air bah hingga ke Kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang, adalah benang merah yang membuat keduanya memiliki kaitan erat. Rekonstruksi vs Lingkungan "Semua orang tahu, balok kayu yang hanyut di kota dari penebangan liar di Tamiang Hulu. Setelah tsunami, penebangan hutan tambah parah. Tapi, akhirnya, warga yang jadi korban," kata Asnah (38), warga Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Tamiang, yang rumahnya tenggelam akibat banjir. Laju kerusakan hutan Aceh pascatsunami memang mengkhawatirkan, bahkan diperkirakan meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Sebagian besar kebutuhan kayu untuk rekonstruksi di Aceh diambil dari hasil pembalakan liar. Nizar Tarigan, Rehabilitasion Officer dari Yayasan Leuser Internasional (YLI), mengemukakan, "Hutan produksi di Aceh yang ditetapkan 600.000 hektar (ha) sebenarnya sudah habis, berubah menjadi kebun kelapa sawit atau yang lain. Tetapi hampir di semua tempat bisa ditemukan penggergajian kayu yang digunakan untuk proses rekonstruksi. Dari mana jika bukan ilegal?" Banyak pihak bermain di bisnis kayu ilegal. Dan rekonstruksi menjadi alasan untuk menghancurkan hutan. Di sepanjang jalan juga banyak pungutan dari berbagai pihak. Rudi Hardiyansyah Putra, Monitoring Officer YLI, mengatakan, hingga tahun 2003 kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mencapai 30 persen atau sekitar 0,78 juta ha dari 2,6 juta ha areal hutan. Setelah tsunami, laju kerusakan KEL 20.000 ha per tahun-dua kali lipat dari sebelumnya. Survei Maret-Juni 2006, kata Rudi, ternyata menemukan 190 titik perambahan baru di KEL, yang terluas di Aceh Tamiang dan Langkat (Sumatera Utara), masing-masing 1.300 ha. Kedua daerah inilah yang kini paling parah dikepung banjir. Survei tersebut juga menemukan 13 ruas jalan yang baru dibangun atau jalan lama yang dipakai kembali untuk jalur pembalakan liar dan perambahan. Lingkungan, menjadi masalah yang tak diindahkan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Walau Aceh adalah daerah bencana, semua pihak sepertinya tak pernah belajar atas bencana. Sistem peringatan dini tsunami, juga tak jelas kapan dioperasikan. Tata ruang yang peka bencana, dilupakan. Jalur evakuasi, bukit untuk evakuasi saat bencana atau escape hill, daerah barier tak terdengar lagi. Dan yang lebih fatal, hutan di kawasan pegunungan pun dihancurkan. Dengan demikian, kini lengkaplah sudah penderitaan rakyat Aceh. Aceh dikepung dua bahaya. Dari gunung dan laut. "Rumah tenggelam, seluruh harta benda kami hilang, hanya ada baju di badan. Kami kelaparan, butuh beras," kata Asnah (38), warga Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda. Sekali lagi, pemerintah masih tergagap dengan terjadinya bencana alam, penmerintah tidak siap menghadapi air dari laut dan dari gunung....(*)   Sumber: Kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.