Banda Aceh, Satu Kota Seribu Bendera
    IND | ENG

Banda Aceh, Satu Kota Seribu Bendera

By : Hana 18 Januari 2005 News Categori : Uncategorized

Selasa, 18 Januari 2005, 10:31 WIB -- Banda Aceh, Satu Kota Seribu Bendera  Bencana dahsyat gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, ternyata tidak hanya menyisakan tumpukan sampah, puing bangunan runtuh, ribuan jasad korban dan penderitaan berkelanjutan. Pasca perginya gelombang air laut, gelombang baru datang memenuhi Banda Aceh. Ribuan orang yang menyebut diri mereka relawan datang dari berbagai belahan dunia. Dalam dan luar tanah air kita. Semuanya tumpah ruah ke Banda Aceh. Banda Aceh yang sesaat terlihat seperti kota mati pun perlahan bergerak bangun. Denyut nadi kota itu mulai berdetak seiring aktifitas para relawan. Mobil-mobil lapangan, pick up, labih-labih (angkot), truk truk raksasa yang mengangkuti bahan makanan, pakaian dan obat-obatan ramai hilir-mudik di jalan-jalan utama. Kemacetan dan antrian kendaraan mulai terlihat meski belumlah terlalu panjang, terutama di Lambaro, yang menjadi rute dari Bandara Sultan Iskandar Muda ke Banda Aceh. Relawan dengan berbagai warna seragam dan atribut tampak sibuk bekerja.  Pos-pos kesehatan ada dimana-mana, terkadang satu daerah bisa diisi oleh beberapa pos kesehatan. Spanduk-spanduk bernada simpati memenuhi sudut-sudut kota. Banda Aceh pasca tsunami  kini telah menjadi satu kota seribu bendera. Kalau saja ini semua bisa jadi tolak ukur betapa penanggulangan bencana pasca tsunami Aceh berjalan lancar, alangkah bagusnya. Tapi kenyataannya tidaklah seperti itu! Niat baik para relawan - yang semoga tulus dari lubuk hati - ternyata tidak dibarengi sistem dan koordinasi yang baik pula. Disorganisasi membuat distribusi relawan tidak merata. Banda Aceh boleh dibilang surplus tenaga medis, sementara masih banyak daerah korban bencana di belahan lain Nanggroe Aceh Darussalam yang belum atau masih sangat kurang mendapat bantuan medis. Rusaknya infrastruktur boleh jadi akan mengemuka menjadi alasan dibalik semua ini. Namun tetap saja semuanya berpangkal pada faktor lain seperti tidak jalannya sistem koordinasi pemerintah dan egoisme para relawan sendiri. Sistem koordinasi yang tidak berjalan menyebabkan para relawan harus berebut lokasi dengan kelompok lain sementara egoisme membuat masing-masing pihak ingin menonjol sendiri. Banyaknya relawan pun kemudian tak bisa dijadikan tolak ukur. Tak bisa dipungkiri kenyataan bahwa ada beberapa kelompok relawan yang berangkat ke Aceh hanya untuk sekedar memajang spanduk besar tanpa diikuti kesiapan mereka sendiri untuk membantu. Sebuah kelompok relawan kesehatan domestik datang dengan 2 bis besar, dengan sekitar 40-50 tenaga namun tanpa membawa peralatan dan obat-obatan. Lalu memaksa bergabung dengan kelompok lain yang lebih siap. Langkah pertama yang mereka lakukan ketika diberi ijin untuk berbagi ruang adalah memasang spanduk besar nama kelompoknya. Lalu mulai berkeliling-keliling Aceh tanpa melakukan apa-apa. Aneh bin ajaib! Ada lagi yang membantu sungguh-sungguh namun dengan ego segunung merasa paling berjasa dan paling berhak menentukan  siapa saja yang boleh bekerja. Sebuah LSM kesehatan yang cukup punya nama dinegeri ini - sebut saja kelompok `Blablabla` dengan pongahnya menempati sebuah Rumah Sakit swasta di Banda Aceh lalu kemudian merasa berhak untuk menolak kelompok relawan lain bergabung. "Kelompok lain boleh saja bergabung", tukas sang komandan LSM itu, "namun harus setuju bahwa Rumah Sakit ini akan memakai nama Rumah Sakit `Blablabla`, kemudian mereka harus memutuskan aliansinya dengan kelompok lain untuk bekerja dibawah bendera dan komando kita" Masih banyak lagi tuntutan sang komandan, dan ketika tak bisa dipenuhi kelompok relawan yang ingin bergabung itu, tanpa ampun dia menolak mereka. Ada rasa geli campur geram timbul ketika mendengar tuntutannya. Kalau LSMnya itu memang datang untuk membantu - tulus ikhlas karena kemanusiaan - lalu untuk apa menonjol-nonjolkan diri?  Atau jangan-jangan datang ke Aceh memang hanya untuk cari nama? Yang jelas akibat penolakannya, Rumah Sakit yang mereka kangkangi itu sampai Selasa, 11 Januari 2005 - dua hari setelah penolakan - masih belum juga beroperasi. Padahal tim lain yang mereka tolak itu membawa obat-obatan, peralatan dan tenaga medis yang seharusnya cukup untuk mulai mengoperasikan Rumah Sakit itu, apalagi kalau mereka bisa bekerja sama. Itu hanya sepenggal episode dari sekian banyak episode persaingan tidak sehat antar kelompok relawan. Persaingan tidak sehat yang pada akhirnya bukannya membuat upaya penanggulangan masalah Aceh lebih cepat bergulir malah menghambat program itu sendiri. Mungkin ada baiknya kalau pemerintah, dalam hal ini satkorlak, berupaya lebih tegas mengendalikan kondisi riil di lapangan. Kalau perlu dengan mencopoti semua bendera, umbul-umbul, spanduk atau atribut apapun dari para relawan yang beraneka ragam, menggabungkannya kedalam suatu tim terpadu, gabungan dari semua tim yang ada di Aceh - yang saya masih sangat yakini bahwa sebagian besar datang karena niat suci untuk membantu dan semata karena didorong rasa kemanusiaan. Kalaupun pemerintah tak mampu menjembatani pembentukan tim gabungan, kenapa bukan dari kita para relawan sendiri yang memulai. Mari kita lepas semua atribut kita, singkirkan egoisme, copot spanduk-spanduk dan bendera kita lalu mulai bekerja bahu membahu membantu saudara kita yang amat sangat membutuhkan. Masalah di Aceh yang poranda terlalu besar untuk kita coba atasi sendiri-sendiri. Lalu kenapa tidak menyatukan kekuatan? Sebuah tanya yang seharusnya ada jawabannya. (Fahrie Haris, Dokter, Relawan Aceh Tulisan ini dibuat tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat untuk semua relawan tanpa gembar-gembor yang telah  membaktikan tenaga,hati  dan pikirannya untuk Aceh)

© Airputih.or.id. All rights reserved.