Aksesibilitas Masih Angan-Angan
    IND | ENG

Aksesibilitas Masih Angan-Angan

By : Taufik Hazan Asari 03 Mei 2009 News Categori : Kolom Pembicaraan

Oleh : Imron Fauzi Setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kemudahan akses dalam menggunakan layanan umum. Termasuk diantaranya menggunakan jalan, akses tempat umum, gedung, transportasi umum, informasi, komunikasi, tekhnologi dan lain sebagainya. Akses universal merujuk kepada kemampuan semua orang untuk memiliki kesempatan yang sama terhadap akses ke layanan atau produk yang mereka bisa mendapatkan keuntungan, tanpa memandang kelas sosial, etnis, latar belakang atau cacat fisik. Hal ini sangat terikat dengan konsep hak asasi manusia. Namun tidak semua orang memiliki kemampuan fisik yang normal. Penyandang cacat dan lanjut usia umumnya mengalami masalah saat menggunakan produk dan pelayanan umum serta pada perangkat tekhnologi seperti komputer. Sehingga mereka tidak mendapatkan akses informasi dan mengakibatkan mereka menjadi kelompok manusia yang tertinggal. Penyandang cacat adalah salah satu kelompok marginal yang secara umum kurang mendapat perhatian. Berdasarkan data WHO jumlah penyandang cacat di Indonesia tahun 2005 sebesar 3,11 persen dari jumlah penduduk, kebanyakan tidak mengenyam pendidikan dan mayoritas tidak memperoleh pemeliharaan yang memadai karena kemiskinan atau keluarga merasa malu. Keadaan seperti ini, menyebabkan mereka hidup dalam kemiskinan serta mudah untuk dieksploitasi. Di Indonesia belum mencerminkan keadilan bagi semua orang, dikarenakan belum dapat digunakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki kecacatan atau keterbatasan fisik. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pembangunan dari PBB bahwa “no part of the built-up environment should be designed in a manner that excludes certain groups of people on the basis of their ability and frailty” (United Nations, 1995). Dibutuhkan perangkat peraturan yang bisa menjamin bahwa penyandang cacat, usia lanjut, wanita hamil dan anak-anak mendapatkan aksesibilitas dalam semua bidang kehidupan seperti layanan transportasi, pendidikan, kesehatan, kehidupan yang baik, informasi, penggunaan tekhnologi dan lain sebagainya. Perangkat peraturan ini bisa dijadikan pedoman untuk memastikan bahwa aksesibilitas benar-benar diterapkan. Dalam norma hukum di Indonesia telah mengatur tentang aksesibilitas bagi penyandang cacat. Seperti, Undang-Undang R.I No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, Undang-Undang R.I No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,Peraturan Pemerintah R.I No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, Keputusan Presiden R.I No. 82 Tahun 1999 tentang Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan sosial penyandang cacat, Keputusan Menteri PU No. 468/KPTS Tahun 1998 tentang Persyaratan teknis aksesibilitas pada bangunan umum, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 71 Tahun 1999 tentang Fasilitas kemudahan bagi lansia, penyandang cacat dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan. Dalam kenyataan, peraturan perundang-undangan penyandang cacat, diantaranya peraturan aksesibilitas, masih terabaikan dan belum diimplementasikan. Penyediaan fasilitas umum masih tidak ramah terhadap penyandang cacat. Dapartemen dan instansi yang mempunyai kewenangan seperti Departemen Perhubungan untuk akses transportasi baik udara, laut dan darat masih belum optimal dalam menciptakan alat transportasi yang bisa diakses oleh penyandang cacat. Seperti jalan, trotoar, jembatan, gedung bertingkat, lebar jalan bagi pengguna kursi roda di dalam alat transportasi (bis, kereta api, pesawat, kapal laut), akses jalan menuju alat transportasi. Peluncuran Busway oleh Pemerintah Propinsi DKI menjadi terobosan untuk perbaikan aksesibilitas, tetapi harus didukung dengan akses ke busway. Untuk itu perlu kampanye dan advokasi agar aksesibilitas benar-benar dapat diimplementasikan. Kampanye dan advokasi ini harus dilakukan oleh komponen masyarakat seperti pemerintah, perguruan tinggi, pengusaha, pemerhati keadilan aksesibilitas, pengguna (penyandang cacat, lansia, wanita hamil dan anak-anak) serta masyarakat umum. Kampanye dibutuhkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas tentang aksesibilitas dan penyandang cacat. Pemahaman masyarakat tentang kecacatan masih belum benar secara konseptual. Namun demikian, tidak semua kecacatan tersebut menjadi hambatan bagi penyandang cacat dalam menjalankan aktivitas secara normal pada kehidupan sehari-hari. Perlu dihapus diskriminasi terhadap orang cacat. Mereka mempunyai kemampuan dan dapat berkembang dan dengan dukungan yang diberikan oleh masyarakat. Apabila masyarakat cenderung pada pendapat bahwa penyandang cacat merupakan warga masyarakat yang diragukan kemampuannya, maka proses integrasi akan terhambat dan penyandang cacat akan tetap menjadi kelompok yang tertinggal. Referensi : - http://en.wikipedia.org/wiki/Universal_access, diakses pada 3 Mei 2009 - http://en.wikipedia.org/wiki/Accessibility, diakses pada 3 Mei 2009 - http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=KegiatanCegah&op=detail_kegiatan_cegah&id=99&mn=2&smn=f, diakses pada 3 Mei 2009 - Wiwik Setyaningsih, Perwujudan Elemen Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Studi kasus Kota Surakarta, Seminar Internasional "POLICY AND REGULATION SUPPORTING INCLUSION IN INDONESIA.

© Airputih.or.id. All rights reserved.