Ternyata, Dunia Ismail Memang Laut
    IND | ENG

Ternyata, Dunia Ismail Memang Laut

By : Hana 11 Maret 2006 News Categori : Berita

Sabtu, 11 Maret 2006, 16:22 WIB -Berita Umum- Ternyata, Dunia Ismail Memang Laut Sumber : Serambi Online

BAU amis dan asin sungai tempat mangkalnya kapal penangkap ikan cukup terasa dihembus angin pantai. Ismail, lelaki berusia 35 tahun ini terlihat sedang sibuk mengemasi dan memeriksa barang-barang yang akan dibawa dengan boatnya bersama beberapa orang anak buahnya ketika, Sabtu (4/3) lalu di bawah Jembatan Peunayong, Banda Aceh. Terkadang keindahan dan kelembutan laut menyimpan sejuta misteri yang sangat sulit untuk dicari dan dipecahkan. Bagai sebuah permainan ular tangga yang tak tahu kapan berakhir karena begitu banyak jebakannya. Laut berubah menjadi monster yang sangat menakutkan, ia mampu menelan berjuta-juta jiwa tanpa kenal si miskin dan si kaya. Begitu pula yang dirasakan Ismail, lelaki berkulit hitam dari Batee, Pidie, Ismail telah melaut sejak usia sebelas tahun yang bermula dari mengikuti ayahnya, Nurdin Al Meruhon, yang juga seorang pelaut tulen. Bahkan keluarga besarnya juga orang-orang yang selalu berada di laut. Saat kapal telah merapat di dermaga Peunayong, tuas kemudi di istirahatkan, jala di lipat dengan rapinya di tepi sungai. Keranjang-keranjang yang penuh ikan telah diangkut ke timbangan pasar Peunayong. Tiba-tiba wajah-wajah lelah karena semalaman tidak tidur dan bekerja berat dikejutkan oleh ombak yang sangat besar dengan kekuatan luarbiasa. Menghantam dan membawa mereka pada tempat yang sulit dicari tepinya, kenangnya tentang tsuanmi 26 Desember 2004 lalu. Tsunami yang terjadi setahun yang lalu telah merenggut istri dan tiga orang anak yang begitu sangat di cintainya. Saat itu, Ismail sedang melakukan perjalanan seperti biasa, mengemudikan tuas-tuas kapal yang akan membawanya pada tempat-tempat ikan bertemu dan bercanda. Menangkapnya dengan penuh semangat. Karena terbayang rupiah yang akan di bawanya pulang untuk si agam dan inong kesayangannya. "Mereka telah pergi tanpa jejak," katanya sambil memandang lepas ke arah laut dengan mata berkaca-kaca saat Serambi menanyakan ikhwal keluarganya. Kini hidup dirasakannya sangat sunyi, ketika orang-orang yang sangat dicintainya hilang terbawa air tempat ia mencari dana untuk hidup. Tempat ia menggantungkan nasib diri dan keluarganya demi masa depan yang kini terasa hampa bagi jiwanya yang kian sunyi. Tempat ia menyanyikan melodi-melodi perjuangan, bak Marcopolo dari di abad lampau mengharungi laut luas. Tapi hidup harus terus berlanjut, masih ada tiga anaknya lagi, Masnawi (15), M Nur (13), dan Suryati (10), yang begitu memerlukannya. Ia harus menyeka air mata, menguatkan jiwa, mengibarkan semangat yang telah runtuh terbawa gelombang hitam. Yang harus ia fikirkan adalah bagaimana mengembalikan boat dan barang-barang yang berharga hampir Rp 100 juta itu. Bantuan-demi bantuan untuk nelayan berdatangan, tapi tak ada satu pun yang mengalir padanya. Boat-boat atau kapal motor penangkap ikan yang diberikan dari dinas-dinas hanya sebuah selogan, hanya digunakan untuk mencari nama. Sebab, ketika diturunkan kelaut boat itu hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah mesinnya. Itu pun harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk memperbaikinya seperti semula. "Sebenarnya saya ingin bekerja di darat saja, tapi saya tdak bisa. Belum ketemu kerjaan yang pas," jelasnya. Hidup yang terasa sulit, malah semakin berat dirasakannya. Apalagi masih ada sebelas orang anak buahnya yang juga menggantungkan hidup dari boat itu. Ismail kemudian pulang kekampunganya. Berusaha menjumpai beberapa orang rekan dan saudaranya untuk memecahkan masalah ini. Akhirnya, setelah tiga bulan terombang-ambing dengan bantuan yang tidak jelas, Ismail membeli sebuah boat seharga Rp 90 juta bersama dengan abang kandungnya dan teman-teman yang simpati akan nasibnya. "Abis, nunggu bantuan juga dak datang-datang." katanya lirih. Kini semangatnya telah kembali, walaupun ia masih trauma. Dia harus kembali ke laut yang dulu dirasakannya begitu indah. Penuh mimpi-mimpi indah, meski kini pecah bak ombak terhempas karang terjal. Sedikit demi sedikit perekonomian keluarganya dan keluarga para awak boatnya mulai bangkit. Kini ia dapat tersenyum dengan hangat kepada siapa pun. Semangat pelaut Marcopolo Aceh yang tiada henti. halimah

© Airputih.or.id. All rights reserved.