Setengah Juta Manusia Tenda di Aceh
    IND | ENG

Setengah Juta Manusia Tenda di Aceh

By : Hana 15 September 2005 News Categori : Berita

Kamis, 15 September 2005, 15:05 WIB -Berita Umum- Setengah Juta Manusia Tenda di Aceh Sumber : Farid Gaban, Kantor Berita Pena Indonesia Setengah Juta Manusia Tenda di Aceh Farid Gaban  Kantor Berita Pena Indonesia Kabar baik: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh sudah berhasil membangun 6.000 unit rumah bagi korban tsunami di Aceh. Kabar buruk: 120.000 unit rumah lain masih menunggu dibangun. Januari lalu, Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan memprioritaskan setahun pertama rehabitisasi Aceh untuk pembangunan rumah bagi setengah juta lebih pengungsi. Tapi, kini, sembilan bulan setelah tsunami menghentak Aceh, janji tersebut jauh dari bisa dipenuhi. Gempa dan tsunami melanda sebagian besar wilayah Aceh pada akhir Desember lalu. Bencana itu memporak-porandakan lebih 100.000 unit bangunan dan menewaskan 200.000 warganya. Tercatat pula lebih 500.000 masyarakat korban selamat dari musibah gempa dan tsunami kini tinggal di pengungsian, di bawah tenda atau menumpang di rumah saudara dan kerabat yang selamat. Pembangunan perumahan bagi korban tsunami ternyata berjalan sangat lambat. Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto mengakui kelambanan itu dan meminta maaf. Meski menahan diri untuk tidak memberi dalih bagi kelambatan itu, dia mengatakan lembaganya baru terbentuk empat bulan lalu. "Meski terkesan lamban, namun hingga akhir bulan September 2005 ini maka sudah selesai dibangun sekitar 10.000 unit rumah untuk korban gempa dan tsunami, yang pembangunannya dilakukan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta lembaga donor lainnya," kata Kuntoro kepada Kantor Berita Antara pekan ini. Namun, melihat trend sekarang, yakni empat bulan hanya bisa dibangun 10.000 rumah, target pemerintah 126 ribu rumah baru tadi akan bisa dipenuhi 48 bulan atau empat tahun. Tanpa ada keseriusan dan percepatan, kita bisa membayangkan bencana sosial yang terjadi di Aceh, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Rasa frustrasi yang mendalam akan mempengaruhi nasib perjanjian damai antara Indonesia dan GAM yang masih berumur muda dan rawan kegagalan. Pada saat ini, kelambanan itu akan telah menyebabkan sekitar setengah juta korban tsunami harus menanti Ramadhan dan Idul Fitri di bawah tenda-tenda darurat. Dan lebih dari segalanya, sembilan bulan adalah waktu yang sangat lama jika kita berumah di bawah tenda, dengan segala komplikasinya: masalah privasi, kurangnya fasilitas dasar kesehatan dan trauma psikologis yang makin parah. Apa sebenarnya yang keliru? Masalah biayakah? Atau masalah manajemen dan keseriusan pemerintah menangani hal ini? Atau masalah keamanan? Sejauh ini belum ada jawaban jelas yang diberikan Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto. Namun, masalah keuangan, sejauh kita bisa memegang janji pemerintah, bukanlah masalah yang perlu dikuatirkan. Pada 31 Mei lalu, Kuntoro mengatakan sedikitnya ada dana sebesar Rp 60 triliun akan mengalir ke Aceh selama enam tahun setelah tsunami untuk membangun kembali daerah itu. "Dana sebesar itu akan diberikan donatur dan Pemerintah RI secara bertahap, jika rekontruksi dan rehabilitasi Aceh itu berjalan baik," kata Kuntoro. Kuntoro mengatakan, pada tahap pertama 2005 akan mengalir setidaknya Rp 7 triliun hingga Rp 8 triliun. BRR akan memprioritaskan bantuan keuangan dari berbagai sumber dana itu bagi pembangunan perumahan, infrastruktur dan pemberdayaan kembali perekonomian masyarakat Aceh dan Nias yang rusak akibat musibah gempa dan tsunami akhir tahun lalu. Dengan dana sebesar itu, jika benar mengalir, sulit membayangkan target pembangunan perumahan demikian lambat. Jika benar dana itu turun, kita bisa membayangkan setidaknya Rp 600 miliar sudah mengalir setiap bulannya ke Aceh sekarang ini. Dengan asumsi setiap rumah yang layak memerlukan Rp 20 juta per unit, misalnya, kita bisa membangun seluruh target pemerintah tadi hanya dalam empat bulan saja. Belum lagi jika kita mendengar banyak lembaga swadaya masyarakat bergerak di sini. Ada sekitar 400 LSM/NGO nasional dan internasional yang berada di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. Dengan "kemewahan" seperti itu, sulit sekali kita membayangkan soal pembangunan perumahan terhambat. Dan di sini kita belum bicara infrastruktur lain, baik fisik maupun non-fisik. Rasa frustrasi di kalangan pengungsi sudah mulai memuncak. Mereka mengeluh tentang janji pembangunan perumahan. Petugas pemerintah dan aktivis LSM datang, bertanya, mengisi formulir dan pergi. Tapi, rumah tetap tak kunjung datang. Tidak mudah mengurusi situasi bencana sebesar skala tsunami Aceh, dengan kerusakan yang hampir total di beberapa kota. Menjadi tidak mudah lagi jika itu harus dilakukan dalam atmosfir "tidak normal" dari segi keamanan seperti di Aceh. Namun, kini kesepakatan damai telah tercapai dan kita berharap itu akan memberi landasan yang lebih mudah bagi BRR untuk bertindak lebih cepat. Dalam konteks ini, para politisi di Jakarta perlu menahan diri untuk tidak memanas-manasi soal. Perdamaian adalah prasyarat utama bagi rakyat Aceh untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi setelah tsunami. Dalam konteks itu, sangat disayangkan pernyataan tokoh seperti Amien Rais dan sejumlah politisi di PDI Perjuangan yang mempertanyakan kesepakatan damai. Sangat disayangkan pula pernyataan para purnawirawan militer pekan ini yang memanas-manasi para pejabat militer aktif untuk menentang kesepakatan. Mendukung perdamaian adalah sumbangan terbesar jika kita tak bisa datang sendiri dan memberi bantuan memadai pada rakyat Aceh. Kita harus berpikir tidak hanya dalam kerangka politik, tapi juga kerangka sosial dengan menempatkan rakyat Aceh, khususnya yang kini hidup di tenda-tenda, sebagai fokus perhatian. Merayakan Ramadhan dan Idul Fitri di tenda-tenda memiliki makna yang sangat mendalam bagi setengah juta orang Aceh. Hanya jika perdamaian telah terwujud secara substansial kita bisa menuntut Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto untuk bertindak lebih sigap, atau setidaknya memberi analisis yang lebih gamblang kenapa semua keterlambatan ini bisa terjadi. Tapi, tanggungjawab terbesar tak hanya terletak pada Kuntoro. Ratusan LSM domestik ataupun internasional yang kini bergerak di Aceh memiliki kewajiban moral untuk melakukan hal serupa. Bukankah mereka ada di situ karena kepercayaan publik akan dana dan pikiran untuk membantu korban tsunami? Dengan janji Rp 60 triliun akan mengalir ke Aceh selama enam tahun mendatang, realitas di lapangan sekarang ini menunjukkan ironi dan paradoks besar.*

© Airputih.or.id. All rights reserved.