Ramai-ramai Membangun Rumah Sendiri
    IND | ENG

Ramai-ramai Membangun Rumah Sendiri

By : Hana 26 Maret 2005 News Categori : Berita

Sabtu, 26 Maret 2005, 21:19 WIB -Berita Umum- Ramai-ramai Membangun Rumah Sendiri Sumber : Pena Indonesia Reporter: Adward & Arianti - Banda Aceh, 2005-03-25 16:34:26 Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh telah hancur. Tak ada bangunan yang tersisa di sana. Jalan menuju ke desa yang terletak di bibir pantai itu pun, terputus. Sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua dusun di Alue Naga, juga terputus. Warga yang selamat, masih bertahan di kamp pengungsian Masjid Ulee Kareng. Sudah hampir empat bulan mereka tinggal di pengungsian. Rasa bosan merasuki benak mereka. Sementara kalau memilih tinggal di barak relokasi yang disediakan pemerintah, juga bukan solusi. Pasalnya, barak itu terletak di Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Jarak antara desa asal dengan barak, lima kilometer.Tak ada yang mau tinggal di sana,” kata Muhammad, salah seorang warga Alue Naga yang masih bertahan di lokasi pengungsian. Karenanya, warga kemudian memilih membersihkan perkampungan mereka dan mulai membangun rumah di sana. Menurut Muhammad, sudah sebulan lalu warga Alue Naga banyak yang kembali ke desa hanya untuk mengumpulkan kayu bekas, guna membangun rumah kembali. Saat berkunjung ke Alue Naga, Kamis (24/3), motor yang ditumpangi reporter acehkita tidak bisa menjangkau ke sana. Jalan kaki pun, hanya bisa dicapai hingga Dusun Kuala. Pusat Desa Alue Naga yang terletak di samping kanan Dusun Kuala, sama sekali tak bisa dijangkau. Dari jalan masuk sebelah kanan jembatan Krueng Cut, jalan malah sudah menjadi bagian sungai. Di Dusun Kuala, warga sudah membersihkan kampung ala kadarnya. Beberapa rumah pondok sudah terlihat berdiri di sana. “Kami mencoba kembali ke sini,” kata Karim. Bosan. Itulah kosakata yang cocok untuk menggambarkan kondisi warga yang tinggal di pengungsian. Razali (54), mengaku sudah bosan tinggal di pengungsian, apalagi tanpa pekerjaan. Sebelum tsunami, dia bekerja sebagai nelayan. Merasa bosan tinggal di pengungsian, bersama teman-temannya dia kembali ke desa. Bermodalkan kayu bekas peninggalan tsunami, dia kemudian mendirikan sebuah rumah darurat. Akhirnya, dia pun kembali bekerja seperti semula.Kami mulai menjaring ikan, memakai boat sisa yang kami perbaiki. Tidak ada mesin, terpaksa jadi sampan dayung,” sebutnya. Razali juga menyebutkan, sampai saat ini mereka belum mendapat bantuan rumah dan peralatan mencari ikan dari pemerintah maupun LSM. Untuk jaring saja mereka terpaksa meminjam uang ke sana-sini agar bisa membeli benang dan kemudian merajutnya sendiri.Daripada duduk-duduk di pengungsian, lumayan dapat rezeki sedikit,” sebutnya. Ketika ditanya mengenai rekonstruksi dan rehabilitasi, Razali sama sekali tidak paham. Warga Alue Naga lain juga tidak begitu peduli dengan rencana pemerintah itu. Ada dan tidak rekonstruksi dan rehabilitasi menjamah kampungnya, Razali sudah bertekad bulat untuk kembali ke desanya, membangun kembali Desa Alue Naga bersama para warga.Pokoknya kami tetap akan di desa, tidak mau pindah. Mau kerja apa kami nanti, pekerjaan kami nelayan,” sebutnya. Razali tidak main-main dengan sikapnya itu. Setiap hari di sela-sela menjaring ikan, dia terus berusaha mengumpulkan kayu-kayu bekas dan juga terus membersihkan desa. Rencananya, setelah desa bersih nanti, mereka yang sudah mendirikan rumah di tanggul sungai Krueng Cut akan kembali lagi ke desa seperti semula. Harapan warga Alue Naga kepada pemerintah pun tak muluk-muluk. Mereka hanya berharap, pemerintah mau memperhatikan nasib mereka, bukan memindahkan mereka. “Kami mengharapkan rumah dibangun di tempat semula dan dibantu boat,” sebut Razali. Setelah itu, menurutnya mereka akan bisa hidup mandiri tanpa perlu lagi disapih oleh pemerintah. Pekerjaan mereka pun akan sangat berguna untuk membangun ekonomi Aceh ke depan. Hampir sama dengan Warga Alue Naga. Warga Desa Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam mungkin sedikit lebih beruntung. Mereka yang umumnya juga sebagai nelayan, sudah kembali ke desanya. Bertekad untuk membangun desa guna bisa bekerja kembali. Di desa, mereka tinggal di tenda-tenda darurat. Mereka masih mempunyai sebuah masjid yang lumayan besar sebagai tempat berteduh. Masjid Tgk Chik Lambada Lhok namanya. Sudah ada tiga rumah yang dibangun di sana. Mahyar, salah seorang warga, mengatakan rumah tersebut adalah bantuan dari LSM Kreasi. LSM itu menjanjikan akan membangun 10 rumah panggung kayu dengan dua kamar.Baru siap tiga, yang lain sedang mencari kayu dan akan dikerjakan,” sebutnya. Desa itu hanya terletak sekitar satu kilometer dari bibir pantai. Bagaimana kalau nantinya pemerintah melarang mereka tinggal di sana? Agaknya, warga Lambada Lhok tak ambil pusing dengan larangan itu. Buktinya, roda ekonomi sudah mulai berputar di sana. Warga sudah rutin pergi melaut, kendati hanya bermodalkan boat bekas tsunami. Apalagi, mereka juga kecipratan bantuan 20 mesin boat dari Peracis. “Kami dibantu 20 mesin boat sama orang Perancis,” kata Mahyar. Sampai di sini, kondisi mereka jauh lebih baik daripada nelayan Tanah Pasir yang sampai sekarang belum mendapatkan bantuan 100 boat yang dijanjikan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Dia juga menyebutkan, warga sudah bertekad untuk tak bergerak lagi dari desa, apapun rencana pemerintah nantinya. Karena, menurutnya, pekerjaan mereka adalah di sana. Walaupun begitu, warga Lambada Lhok tetap mengharapkan rumah dan bantuan boat dari pemerintah. Tetapi kalaupun pemerintah nantinya tidak membantu mereka, Mahyar mengatakan, warga akan tetap di sana untuk bertahan hidup, “Daripada kami tidak bisa bekerja,” sebutnya. Di Lambada Lhok, beberapa kios kecil juga sudah berdiri. Hal ini setidaknya seperti apa yang dilakukan Syahruddin (57). Dengan bermodal tenda (yang disulap jadi kios) dia menjajakan buah-buahan, makanan ringan, minuman ringan dan rokok berbagai merek. Syahruddin bukan pedagang handal. Sebelumnya, dia hanya seorang nelayan. Kegiatan melaut sudah digeluti selama 27 tahun sejak dia menikahi seorang perempuan. Dengan bermodal sebuah boat, saban hari dia mengarungi terjangan ombak dan tiupan angin di tengah lautan.Saya baru pulang melaut. Namun, daripada saya bengong, lebih baik saya jualan seperti ini. Sehari bisa dapat duapuluh ribu, sudah lumayan untuk sehari-hari,” kata Syahruddin. Saat ini dia hanya tinggal di tenda bersama anak lelakinya. Keadaan seperti itu sudah dilakoninya sejak berada di penampungan sementara di Desa Lambada Peukan, Kecamatan Baitussalam. Waktu di penampungan, dia dan para pengungsi yang sekampung dengannya telah ditawarkan untuk menempati barak relokasi yang tengah dibangun pemerintah di Desa Kajhu, Baitussalam, Aceh besar. Namun tawaran itu ditepiskannya. Alasan Syahruddin dan para pengungsi, selain minimnya bantuan, barak relokasi juga sangat jauh dari laut tempat selama ini mereka menggantungkan hidup. Selain itu, dia khawatir nantinya dia hanya diperbolehkan menempati barak selama dua tahun saja. Untuk kemudian, dia dan pengungsi lain akan disuruh kembali ke kampung asal, tentu saja dengan modal sendiri.Saya tidak mau tinggal di barak. Buat apa? Lebih baik saya di sini saja membangun rumah sendiri. Apalagi sekarang sudah ada bantuan dari donatur untuk mesin boat dan membangun rumah,” jelas Syaruddin. Apa yang dikatakan Syahruddin memang benar. Saat ini di pekarangan Masjid Lambada Lhok sudah tersusun balok-balok kayu dan papan untuk bahan membuat rumah bagi para pengungsi. Hingga kemarin, ada tiga rumah yang sudah selesai dikerjakan, tinggal ditempati saja. Namun sayang, langkah warga tak banyak beroleh bantuan dan dukungan dari pemerintah. “Itu adalah hal yang bagus,” kata Plt Gubernur Aceh Azwar Abubakar dalam suatu kesempatan di awal Maret lalu. Dia berjanji akan membantu. “Sedang dibicarakan,” kata dia. Entah sampai kapan warga harus menunggu. [dzie]

© Airputih.or.id. All rights reserved.