Perpres 14/2007 Harus Direvisi
    IND | ENG

Perpres 14/2007 Harus Direvisi

By : Hana 01 Maret 2008 News Categori : Uncategorized

Sabtu, 01 Maret 2008 08:33:41 Perpres 14/2007 Harus Direvisi Kategori: Umum (372 kali dibaca) Jum'at, 29/02/2008 A EFFENDY CHOIRIE Ketua FKB DPR RI Di tengah upaya penghematan anggaran karena tekanan fiskal, pemerintah memutuskan akan mengambil dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2008 sebesar Rp700 miliar untuk membeli tanah dan permukiman warga di tiga desa terdampak lumpur,tetapi tidak masuk peta,yaitu Desa Besuki,Pejarakan, dan Kedung Cangkring. Kebijakan itu merupakan realisasi dari Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), yang salah satunya berisi pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas Inc dan pemerintah.Lapindo bertanggung jawab terhadap area di dalam peta terdampak,sedangkan pemerintah di luarnya. Meski harus mengeluarkan uang rakyat untuk menalangi kewajiban korporasi,pemerinta h tidak berniat mengubah perpres,yang sejak awal sangat bias Lapindo itu. Bermasalah Perpres 14/2007 harus diubah karena bermasalah dari perspektif hukum, hak asasi manusia (HAM), dan agraria. Dari perspektif hukum,Perpres 14/2007 melanggar asas vicarious liability, yang diadopsi dalam Undang-Undang (UU) No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup karena mengalihkan sebagian beban risiko dari Lapindo ke negara (APBN). Sebelum dinyatakan secara in kracht tidak bersalah,Lapindo harus menanggung seluruh dampak bencana. Semangat ini menapasi Keputusan Presiden (Keppres) No 13/2006, tetapi kemudian dirombak oleh Perpres No 14/2007. Melalui Pasal 14 dan 15 Perpres, negara harus menanggung biaya BPLS, biaya penanganan infrastruktur, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta terdampak yang ditetapkan. Inilah sesat pikir yang pertama, pemerintah cenderung memihak korporasi dengan cara melonggarkan tanggung jawab Lapindo. Dari perspektif HAM, Perpres 14/2007 melanggar hak warga Sidoarjo yang terdampak semburan lumpur, tetapi tidak tercakup dalam peta area terdampak. Pasal 15 ayat (1) Perpres 14/2007 menyatakan, PT Lapindo Brantas harus membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur, sesuai dengan peta area terdampak tertanggal 22 Maret 2007. Mengacu peta terdampak, hanya empat desa yang masuk area terdampak. Padahal, area terdampak itu telah mencakup tujuh desa yang belum masuk peta, termasuk Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki. Perpres No 14/2007 juga melanggar HAM karena membelokkan hak korban untuk mendapatkan ganti rugi,baik materiil maupun imateriil,dengan merombaknya menjadi jual beli perdata biasa. Rakyat terpaksa menjual tanahnya kepada Lapindo, dengan cara dicicil dan harga yang sudah ditetapkan pula. Inilah sesat pikir yang kedua, pemerintah membatasi hak korban dan akibat bencana serta melegalkan transaksi yang mengandung unsur paksaan. Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata, Pasal 1323, transaksi jual-beli yang mengandung unsur paksaan harus batal demi hukum. Dari perspektif agraria,Perpres 14/2007 bermasalah karena melegalkan Lapindo membeli tanah dalam jumlah yang mengancam kepentingan sosial. Secara yuridis,setelah transaksi jual beli selesai, Lapindo akan menguasai 600 hektare (ha) tanah warga, baik melalui instrumen hak guna bangunan (HGB) maupun hak guna usaha (HGU). Penguasaan tanah yang berlebihan oleh sebuah badan hukum (perusahaan) jelas mengancam kepentingan sosial dan melanggar UU Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 Pasal 6 dan 7. Inilah sesat pikir yang ketiga, Perpres 14/2007 membelakangi konstitusi yang menegaskan bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Alternatif Penyelesaian Perpres 14/2007 telah gagal menjadi payung hukum yang adil untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Pemerintah diusulkan merombak Perpres 14/2007 dan menempuh alternatif penyelesaian sebagai berikut. Pertama, merujuk UUPA No 5/1960, khususnya Pasal 27 (b),Pasal 34 (f), dan Pasal 40 (f), yang menyatakan tanah di area terdampak lumpur sebagai tanah musnah. UUPA memang tidak merinci kriteria tanah musnah. Namun, melihat kondisi tanah di sekitar area terdampak yang sudah menjadi lumpur sehingga tidak bisa dikenali lagi batas-batas fisik dan administratifnya, pemerintah bisa menyatakannya sebagai tanah musnah. Tanah musnah tidak dapat dialihkan haknya, baik dengan cara jual-beli, hibah, wasiat, ataupun lainnya karena tanah tersebut telah kehilangan statusnya sebagai objek hukum kebendaan. Konsekuensinya, transaksi jual-beli warga dan Lapindo harus dinyatakan batal demi hukum. Seterusnya, mengacu kepada Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No 5/1960 Pasal 2 (1) dan Pasal 17 (3), status tanah musnah tersebut kembali dikuasai negara, untuk kelak dibagikan lagi kepada rakyat. Kedua, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang isinya mengambil alih penguasaan atas tanah yang dinyatakan musnah. Kemudian, sebagai wujud dari tanggung jawab negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pemerintah mengambil alih seluruh perkara yang timbul dari bencana lumpur, termasuk ganti rugi, relokasi warga, dan tindakan lain untuk menyelamatkan jiwa dan harta rakyat. Mewakili rakyat, pemerintah lantas berhadap dengan Lapindo dan memaksa perusahaan itu, jika kelak terbukti bersalah, agar menanggung segala akibat bencana yang ditimbulkan oleh kelalaiannya dalam prosedur eksplorasi. Cara ini lebih bisa menegaskan kehadiran negara sebagai entitas publik politis yang melindungi rakyatnya, bukan sekadar wasit, apalagi broker dari sebuah transaksi jual-beli yang bermasalah.( *) http://www.seputar- indonesia. com((*))   Sumber: seputar- indonesia

© Airputih.or.id. All rights reserved.