Lumpur Lapindo
    IND | ENG

Lumpur Lapindo

By : Hana 20 Oktober 2007 News Categori : Uncategorized

Sabtu, 20 Oktober 2007 06:14:47 Lumpur Lapindo Renokenongo, Oh Nasibmu Kategori: Umum (178 kali dibaca) A Ponco Anggoro Tinggal menunggu hari, seluruh wilayah Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, akan tertutup lumpur Lapindo. Ini terjadi seiring dengan akan dibangunnya kolam penampungan lumpur baru di desa itu. Namun, sampai kemarin di sana masih ada puluhan warga yang tinggal di lima RT. Sum (45) sedang sibuk memberi makan burung kenarinya di depan rumahnya di RT 8 RW 2 Desa Renokenongo, Jumat (19/10). Bapak tujuh anak ini baru 10 bulan tinggal di rumah milik istrinya. Sebelumnya, dia bersama keluarga tinggal di Desa Jatirejo, Porong. Karena lumpur menenggelamkan rumahnya di Jatirejo pada Juni 2006, dia bersama keluarga pindah ke Renokenongo. Saat pipa gas Pertamina meledak 22 November 2006, dia bersama keluarga mengungsi ke posko pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Setidaknya satu bulan dia tinggal di sana. Karena tidak betah di pasar serta melihat rumah istrinya di Renokenongo belum terendam lumpur, Sum pun pindah ke Renokenongo meskipun konstruksi rumah itu sedikit rusak sebagai dampak penurunan tanah. Dinding dan lantai rumahnya retak sehingga membuat rumah itu rawan roboh. Sebetulnya, Sum telah mengontrak rumah di Gempol, Pasuruan. Namun, karena rumah kontrakan tidak cukup untuk seluruh keluarga, dia dan istri lalu memilih tinggal di Renokenongo, sedangkan tujuh anaknya tinggal di rumah kontrakan. Mendengar desanya akan dibuat kolam penampungan lumpur, Sum kini hanya bisa pasrah. "Kalau tanah kami mau dipakai, ya, kami bisa apa? Kami terpaksa pindah ke Gempol," tutur Sum yang dulunya bekerja sebagai petani, tetapi sekarang menganggur karena sawah yang biasa dia sewa terendam lumpur. Pria yang lahir, tumbuh, dan bekerja di Porong ini belum menerima sepeser pun ganti rugi dari Lapindo, baik untuk tanah dan rumah di Jatirejo maupun di Renokenongo. Padahal ikatan perjanjian jual-beli dengan Lapindo telah ditandatanganinya sejak sebelum Lebaran. "Kalau kami menerima uang muka 20 persen pun, tidak akan cukup membeli rumah baru. Kami harus menunggu pencairan sisanya, 80 persen, baru bisa membeli rumah baru," ucapnya. Jika Sum dengan pasrah merelakan rumahnya digunakan sebagai kolam penampungan lumpur, tidak demikian dengan Lilik (48) yang tinggal di RT 4 RW 1. Perempuan yang telah turun-temurun tinggal di Renokenongo ini tak rela rumahnya harus ditenggelamkan lumpur. "Sejak lahir saya di sini. Kakek dan bapak saya juga lahir dan tinggal di sini. Kalau harus meninggalkan rumah dan Desa Renokenongo, serasa berat hati ini," kata Lilik. Sama dengan Sum, Lilik bersama suami dan dua anaknya telah mengontrak rumah di Desa Kedungcangkring, Jabon, Sidoarjo, tetapi rumah kontrakan itu hanya diisi barang-barang miliknya dan kedua anaknya. Uang muka ganti rugi tanah dan bangunan telah diterima, tetapi itu tidak cukup untuk membeli rumah baru. "Kami minta pembuatan tanggul dan kolam lumpur baru itu ditangguhkan sampai sisa ganti rugi 80 persen diberikan," harap Lilik. Tidak lebih baik Kalau Sum, Lilik, dan puluhan warga lain masih bertahan di Renokenongo, banyak warga lain yang sudah meninggalkan rumahnya dan tinggal di rumah kontrakan. Lebih baikkah kehidupan mereka? Tidak juga. Maisah (45), misalnya. Sudah 14 bulan korban lumpur dari Desa Kedungbendo, Tanggulangin, ini mengontrak rumah di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 2. Bersama suami dan lima anaknya, ia sekarang tinggal di rumah kontrakan tipe 21. Dua kamar yang ada jelas tidak mampu menampung semua anggota keluarga sehingga beberapa anaknya terpaksa tidur tanpa alas di ruang tamu. Perekonomian keluarganya pun belum bisa dibangun kembali. Waktu di Kedungbendo, dia masih bisa membuka toko kelontong. Di perumahan itu, toko kelontong sudah banyak! "Pekerjaan suami saya sebagai tukang bakso keliling juga tidak seperti dulu. Kalau dulu di desa bisa Rp 70.000 per hari, sekarang hanya Rp 50.000 per hari. Bahkan sering tidak sampai segitu," kata ibu yang kelima anaknya sampai kini belum bisa membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga itu. Kesuraman masa depan di tempat baru seperti yang dialami Maisah dan banyak warga lain yang sudah pindah rumah itulah yang mungkin menjadi salah satu faktor warga Renokenongo bertahan di rumah mereka. Mereka beranggapan, pindah ke rumah kontrakan memang membuat aman dari bahaya lumpur atau penurunan tanah, tetapi tidak demikian dengan kehidupan mereka. Kehidupan yang sebelumnya telah tertata rapi dan nyaman harus dimulai dan dibangun dari awal di tempat tinggal baru. "Tidaklah mudah memulai kehidupan di tempat yang baru," tutur Lilik dengan mata berkaca-kaca. Tanggul baru Sebelum lumpur menyembur di Siring, Porong, Desa Renokenongo yang memiliki luas 1,75 kilometer persegi ini terkenal sebagai kawasan industri. Banyak pabrik yang didirikan dan menyerap begitu banyak pekerja dari Renokenongo. Badan Pusat Statistik Sidoarjo tahun 2004 mencatat ada 4.787 jiwa tinggal di 5 RW dan 20 RT. Sejak lumpur menyembur Mei 2006, seluruh kehidupan yang tertata dengan baik itu hancur. Lumpur sedikit demi sedikit menggenangi Renokenongo. Saat pipa gas milik Pertamina meledak 22 November 2006, lumpur yang menggenangi Renokenongo semakin besar. Saat itu belum seluruh wilayah desa terendam. Masih ada lima RT di dua RW yang belum terendam sampai kemarin. Adapula tiga sekolah, TK sampai madrasah aliyah milik Yayasan Kholid bin Walid, SDN Renokenongo 1, dan SDN Renokenongo 2 yang masih digunakan. Masih adanya daerah "aman" itulah yang membuat warga kembali tinggal di Renokenongo meski sebetulnya daerah itu sudah termasuk daerah berbahaya. Kini Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo berencana membuat tanggul sekaligus kolam lumpur baru di Renokenongo. Jika itu terealisasi, Renokenongo akan tenggelam. Desa industri itu pun tinggal kenangan. Desa Renokenongo tinggal sejarah, seperti halnya tiga desa lain yang lebih dulu tenggelam: Siring, Jatirejo, dan Kedungbendo.((*))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.