Laporan Akhir Nusantara
    IND | ENG

Laporan Akhir Nusantara

By : Hana 13 Desember 2007 News Categori : Uncategorized

Kamis, 13 Desember 2007 06:13:37 LAPORAN AKHIR TAHUN NUSANTARA Keindonesiaan: Pertama-tama Sikap Politik Pemerintah Kategori: Umum (204 kali dibaca) A Ponco Anggoro, Subhan SD, Thomas Pudjo Widyanto, dan Sonya Hellen Sinombor Bagi korban lumpur Lapindo, vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 November lalu ibarat sambaran petir di siang bolong. Hakim memutuskan, pemerintah dan Lapindo Brantas Inc telah memenuhi kewajibannya secara optimal. Maka, gugatan korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) itu pun ditolak. Kegusaran nyaris tak mampu disembunyikan lagi oleh mereka yang menjadi korban tragedi semburan lumpur panas 29 Mei 2006. Laporan terakhir menyebutkan, luas kolam penampungan lumpur yang belum teratasi itu sudah mencapai 650 hektar, sedikitnya 11.886 bidang tanah mulai menerima ganti rugi, 600 kepala keluarga bertahan di Pasar Baru Porong, dan puluhan lainnya dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera belum tuntas ganti ruginya. Bencana lain yang tak kalah pelik, tetapi juga sangat terlambat ditangani, adalah bencana alam gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, dua hari sebelumnya (27 Mei 2006). Dua musibah yang terjadi dua tahun lalu itu ternyata belum teratasi secara tuntas. Yang lebih mendasar pun rasanya belum jernih bagi publik dan korban bencana adalah bagaimana sebenarnya sikap politik pemerintah sebagai kepanjangan negara, dan bagaimana pula platform penanganannya. Bukankah sampai sekarang bencana lumpur Lapindo belum terumuskan sebagai bencana alam, atau musibah yang muncul karena dipicu oleh manusia. Dengan korban jiwa lebih dari 6.000 orang, dan kerusakan fisik lebih dari 200.000 rumah dan bangunan, gempa di Jateng dan Yogyakarta secara politis tingkat dan bobot komitmen dan keberpihakan pemerintah dalam penanganan dua—dari sekian banyak masalah nasional itu—amat sangat menentukan kredibilitas dan otoritas pemerintah sendiri. Maka, sejumlah korban lumpur yang hadir pada sidang di PN Jakarta itu langsung berteriak-teriak, dan tubuh mereka lemas tak berdaya. Mereka sudah sampai pada kesimpulan, tidak ada lagi pengharapan di negeri ini. Tidak pada lembaga yudikatif, tidak pada eksekutif, dan tidak pada legislatif. Berbagai kalangan menegaskan, hukum seharusnya berpihak kepada kepentingan publik atau masyarakat. Anggota DPRD Jatim, M Mirdasy, yang ikut jadi korban lumpur misalnya, juga menyesalkan putusan pengadilan yang mengalahkan warga Sidoarjo yang menjadi korban luapan lumpur. Tak mengherankan, vonis yang dijatuhkan tiga hakim, yakni Ketua Majelis Moefri, serta dua anggota majelis Martini Marja dan Murdiono, itu seakan menjadi pamungkas kisah kegagalan perjuangan para korban lumpur dalam menuntut hak-hak mereka. Namun dari cara pandang lain, ini juga bukti kegagalan negara memberikan pengayoman bagi rakyat, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan soal kepentingan publik, Bukti lain memperkuatnya, yaitu terganjalnya interpelasi kasus lumpur Lapindo di DPR. Secara politis banyak kalangan menilai sebagai ketidakberpihakan sikap DPR terhadap kepentingan riil korban. Kekuatan politik yang dimiliki DPR ternyata tidak mampu mendesak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc agar berpihak kepada korban lumpur. Para korban lumpur mengajukan skema ganti rugi sendiri. Setelah tuntutan ganti rugi langsung 100 persen tunai tak dipenuhi, mereka menegosiasi skema baru 50:50 plus tanah seluas 30 hektar. Tetapi setelah tawaran itu tidak dikabulkan juga, mereka mengubah lagi menjadi 20:80 dengan syarat bisa diselesaikan dalam waktu maksimal lima bulan, plus tanah 30 hektar sebagai bentuk ganti rugi immaterial. Walaupun tuntutan sudah diubah, Lapindo dan pemerintah tetap bergeming. Lapindo tetap berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo yang menetapkan skema ganti rugi 20:80 dan diselesaikan dalam waktu maksimal dua tahun. Kelambanan, dan ketidakjelasan standar penanganan—sumbernya pertama-tama "tidak jelasnya" sikap politik pemerintahan—pada kasus gempa bumi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, telah memicu gugatan citizen law (gugatan warga) oleh sedikitnya 65 aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pekerja Hukum Yogyakarta. Gugatan diajukan karena penanganan korban gempa berubah-ubah, lamban, dan terkesan tidak memiliki kebijakan standar dan terpadu. Sikap pemerintah seperti itu dinilai berpotensi memunculkan konflik horizontal. Sebutlah misalnya janji dana rekonstruksi oleh Wakil Presiden Jusuf Kala bahwa pemilik rumah yang rusak berat akan memperoleh bantuan Rp 30 juta, kenyataannya hanya Rp 15 juta. Yang sungguh mengharukan, pihak yang dengan cepat merespons situasi darurat itu lagi-lagi justru datang dari rakyat jelata, yang notabene juga sama-sama menderita. Di wilayah Indonesia timur, dan daerah-daerah terpencil lain dari Nusantara Raya ini, dambaan agar pemerintah pusat dan daerah responsif terhadap derita rakyat amat ditunggu. Daerah dan potensi lokal sebenarnya begitu besar andai tak diabaikan....((*))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.