Ke Laut Mereka Belum Bisa Kembali
    IND | ENG

Ke Laut Mereka Belum Bisa Kembali

By : Hana 01 Maret 2005 News Categori : Berita

Selasa, 1 Maret 2005, 20:10 WIB -Berita Umum- Ke Laut Mereka Belum Bisa Kembali Sumber : acehkita.com Reporter: Yassir M - Aceh Utara, 2005-03-01 13:28:14 Kendati siang membuat hawa terik membakar kulit, Zakaria (34), seakan enggan beranjak dari pinggir pantai. Raut wajahnya tampak gamang. Berdiri di bawah gerumbul batang pandan, sesekali matanya menerawang jauh ke laut lepas. Di sana terlihat beberapa perahu nelayan tengah mencari ikan. Masih tampak jelas terlihat, karena mereka melaut tidak terlalu jauh ke tengah.Dulu mereka melaut jauh sekali sampai ke tengah. Tapi sekarang cukup sampai jauh segitu, dapat ikannya banyak,” ungkap Zakaria ketika ditanya perihal nelayan di kampungnya itu, Desa Lhok Pu’uk, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Menurut dia, nelayan-nelayan di sana makin rajin melaut sejak beberapa hari pascabencana tsunami melanda. Namun hanya beberapa nelayan saja yang masih menggeluti rutinitas itu, yakni mereka yang boatnya tidak terkena tsunami. Ini disebabkan sewaktu tsunami menggulung kampung, nelayan-nelayan itu tengah berada di laut.  “Ada delapan boat yang masih bagus, karena mereka sedang di laut sewaktu tsunami,” kata Zakaria, Minggu (27/2). Zakaria sendiri mengaku sejak tsunami tak pernah lagi bisa melaut. Boat yang sebelumnya menjadi andalan penopang pencaharian keluarga, kini tinggal kepingan-kepingan papan rusak. Sama sekali tak bisa diperbaiki lagi, kecuali menggantinya dengan boat baru. Tak hanya itu, rumahnya yang berdinding papan terletak 50 meter dari bibir pantai pun tak tersisa disapu bencana air bah akhir tahun lalu. Seorang anaknya yang bungsu meninggal dunia. Istri juga sempat digulung tsunami, sehingga terpaksa dirawat di Puskesmas. Kini Zakaria sekeluarga terpaksa menetap di barak pengungsian di Desa Alue Barueh, kecamatan yang sama. Tak terbayangkan jika sehari-hari kini Zakaria hanya bisa menatap-natap laut lepas. Kerja sambilan di sebuah usaha hatchery (pembibitan udang windu) yang dulu ditekuninya, pun tak bisa diharapkan lagi. Gelombang tsunami telah merobohkan bangunan hatchery milik Haji Salam, tempat Zakaria bekerja bila tidak melaut, yang terletak sekira 100 meter dari rumahnya. Menurut ayah tiga anak ini, sejak beberapa hari pascatsunami, nelayan yang melaut di kampung itu selalu mendapatkan tangkapan yang lumayan banyak. Kalau diuangkan dalam sehari kadang bisa dapat Rp 1 hingga 1,7 juta. Merekapun melaut tak perlu jauh ke tengah,  cukup melabuh pukat di jarak 1-3 mil dari pinggir pantai.Entah karena nelayan yang melaut hanya beberapa saja, sehingga mereka mudah mendapat rezeki banyak,” ungkap Zakaria, seraya menambahkan ia kini makin merindukan kembali bekerja sebagai nelayan di tengah laut. Birunya air laut, panasnya bakaran sinar matahari, serta teriakan-teriakan menggelora ketika mendapat hasil tangkapan, membuatnya makin rindu turun ke laut lepas. Namun belum ada jalan untuk itu setelah boatnya rusak. Dulu, kalau dilihat dari kampung itu ke arah laut lepas, katanya, tampak boat-boat nelayan bertebaran banyak sekali. Tapi gelombang tsunami telah merusak sebagian besar boat-boat nelayan di sana.   Panglima laot (lembaga adat laut) Kemukiman Ulee Rubek, Nurdin, mengatakan dari 300-an boat nelayan di wilayahnya hanya belasan yang masih bagus. Sebab itu para nelayan di sana lebih membutuhkan bantuan boat daripada dibuat barak-barak sementara. Belum tentu mereka mau pindah ke tempat relokasi. “Tapi kalau dibantu boat, mereka bisa segera melaut kembali mencari nafkah,” kata Nurdin, panglima laot yang membawahi Desa Lhok Pu’uk, Ulee Rubek Barat, Ulee Rubek Timu, Bantayan, Teupin Kuyuen, dan Desa Matang Puntong, Kecamatan Seunuddon.. Di Desa Teupin Kuyuen, dari sekitar 10 buah boat setelah dihantam tsunami kini tinggal dua boat yang masih bisa dipakai melaut. Karena tak bisa mencari ikan ke laut lepas, sebagian besar nelayan di desa ini terpaksa mencari objek sampingan. Memang tak bisa lepas dari air asin, sebagian mereka kini mencari rezeki dengan memasang pukat di alur-alur sungai dekat kuala. Sebagian lainnya membuat bubu-bubu, alat untuk menangkap kepiting. Ada juga yang coba-coba mengurus tambak yang sempat rusak disapu tsunami. Ruslan Usman (33), misalnya, mengaku dari kerja membubu kepiting bisa mendapat uang Rp 20.000 hingga 30.000 per hari. Sore hari ia berangkat dari barak darurat pengungsian Alue Barueh, mendayung sepeda sekira 7 km ke kampungnya, lalu menuju areal tambak dan alur kuala. Di sana ia lantas memasang 15 buah bubu kepiting. Baru besok paginya bubu-bubu itu diangkat. Kalau lagi rezeki, setiap bubu bisa jadi telah dihuni dua tiga ekor kepiting. “Dari sinilah saya peroleh uang jajan anak-anak, juga bisa buat beli rokok atau kebutuhan kecil istri,” ungkap Ruslan, yang mengaku juga menjadi guru mengaji anak-anak di kampung itu. Sebelum tsunami Ruslan memang bukan berprofesi nelayan tulen. Di kampung  itu ia dikenal sebagai salah seorang perajin industri garam rakyat. Desa Teupin Kuyuen yang berjarak sekira 300 meter dari pantai, selain dikelilingi oleh luasnya areal tambak, juga sejak lama dikenal sebagai sentra produksi garam rakyat. Tapi tsunami telah memporak-porandakan desa itu, tambak rusak, begitu juga lahan produksi garam kini bertimbun lumpur tsunami, memaksa setiap warganya beralih pekerjaan apa saja yang bisa mendatangkan sedikit uang. Menurut Ruslan, sebagian besar warga desa itu kini beralih menjadi tukang bubu kepiting. “Kalau dulu membubu kepiting adalah kerja sampingan, paling-paling hanya belasan orang saja. Sekarang hampir semua warga pengungsi pulang ke sini cari duit, ya dengan membubu kepiting. Mungkin ada 1.000 bubu yang ditambat setiap hari, ramai sekali,” ungkapnya. Kendati demikian, para nelayan mengaku tidak betah berlama-lama menekuni kerja seperti itu. Mereka sangat ingin segera bisa melaut kembali, mencari ikan di tengah gelora ombak dan menantang gelombang. Tsunami tak membuat mereka takut. Sebab, mereka adalah orang laut yang bagaimanapun lebih betah dan hanya kerasan bila kembali ke laut. Pemkab Aceh Utara melalui Kepala Bagian Humas, Azhari Hasan, SH, mengatakan akibat bencana gempa bumi dan gelombang tsunami telah menghancurkan sedikitnya 1.077 boat nelayan di enam kecamatan yang terkena bencana. Selain itu, seluas 3.888 hektar tambak rakyat juga rusak berat dan ringan, 38 unit hatchery roboh.Karenanya, Pemkab Aceh Utara menaruh harapan besar untuk memulihkan kembali roda ekonomi nelayan yang terkena bencana. Namun kalau seluruh anggaran daerah diplot untuk itu, bagaimana dengan warga-warga lainnya. Pemkab berharap ada lembaga-lembaga donor yang mengulurkan tangan membantu para nelayan,” ujarnya, seraya menambahkan sebelum digulung bencana hasil perikanan laut di daerah itu mencapai 15.000 ton/tahun, sedangkan hasil perikanan darat/air tawar 7.000 ton/tahun. [dzie] sumber: www.acehkita.com

© Airputih.or.id. All rights reserved.