Jaminan Akses Informasi: Syarat Mutlak Transparansi dan Akuntabilitas dalam pelayanan dan Kebijakan Publik
    IND | ENG

Jaminan Akses Informasi: Syarat Mutlak Transparansi dan Akuntabilitas dalam pelayanan dan Kebijakan Publik

By : Hana 18 Juli 2005 News Categori : Uncategorized

Senin, 18 Juli 2005, 13:05 WIB Jaminan Akses Informasi : Syarat Mutlak Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan dan Kebijakan Publik

Jaminan Akses Informasi : Syarat Mutlak Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan dan  Kebijakan Publik Oleh : Miswar Fuady

Prolog Kebebasan informasi sudah tidak bisa ditawar lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini. Lepas dari asumsi dasar karena kurangnya transparansi pada sistem administrasi kita dan prasangka tertentu terhadap penyelenggara negara, sedikit demi sedikit kita harus membangun pranata kemasyarakatan yang memadai di mana masyarakat mendapatkan informasi dengan baik dan benar merupakan syarat baku kemajuan masyarakat itu sendiri. Dalam pendekatan akuntabilitas publik, kebebasan informasi merupakan kewajiban lembaga atau badan publik untuk menyebarluaskan produk kebijakan, aturan, rencana, dan hasil itu sebagai pengetahuan untuk mengikuti penyelenggaraan negara yang transparan dan berpola umpan balik. Sebaliknya, dalam pendekatan masyarakat yang bertanggung jawab sosial, kebebasan informasi merupakan kewajiban masyarakat luas untuk memberikan data dan informasi mengenai dirinya atau lembaganya secara benar dan lengkap, dan hak lembaga atau badan publik untuk memperolehnya sebagai bahan pembangunan secara menyeluruh. Jadi lembaga atau badan publik dan masyarakat luas sama-sama mempunyai hak dan kewajiban untuk terwujudnya penyelenggaraan informasi yang sehat. Kebebasan  Informasi di NAD Kebebasan dalam mengakses informasi sesungguhnya merupakan sesuatu yang harus dijamin dalam setiap proses pembuatan/pengambilan kebijakan mulai dari proses perencanaan suatu kebijakan publik, pelaksanaan, pengawasan dan sampai pada proses pertanggungjawaban setiap kebijakan. Kemudahan mengakses informasi tentunya berimplikasi pada budaya partisipasi dalam masyarakat. Kemudahan mengakses informasi dan keikutsertaan masyarakat secara nyata akan menghasilkan sebuah produk kebijakan publik yang tingkat kualitasnya relatif baik dan yang paling terpenting bahwa publik merasa memilikinya sehingga publik akan patuh dan melaksanakannya. Lalu bagaimana dengan konteks di Nanggroe Aceh Darussalam, berdasarkan realitas yang ada ternyata kebebasan informasi adalah sesuatu hal yang sulit untuk kita wujudkan, hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh perilaku dan watak pejabat di Aceh yang sangat tertutup kalau tidak dapat dikatakan korup. Dalam keseharian kita di Nanggroe Aceh Darussalam, bagaimana sulitnya masyarakat mendapatkan informasi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, walaupun dalan Kepres Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD, Pasal 22 ayat (1) Rancangan Perda oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk diminta persetujuannya, ayat (4) sebelum Rancangan Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) dibahas, DPRD mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan dan ayat (5) Masukan dari masyarakat atas Rancangan Perda didokumentasikan dan dilampirkan pada Perda tentang APBD. Sesungguhnya ada beberapa pesan yang diamanatkan oleh Kepres Nomor 29 Tahun 2002, yaitu Pertama, bahwa dokumen APBD sesungguhnya Bukanlah Rahasia Negara. Kedua, bahwa partisipasi publik merupakan kemutlakan dalam setiap proses pembuatan APBD mulai dari perencanaan sampai dengan proses pertanggungjawaban. Ketiga, yang paling terpenting yaitu usulan masyarakat haruslah terakomodir dalam APBD. Khususnya untuk konteks NAD, mekanisme yang telah diatur secara rigit oleh Peraturan Perundang-undangan tadi dalam realitasnya ternyata tidak dilaksanakan oleh DPRD NAD. Konflik  Aceh : Dampak Ketiadaan Kebebasan Informasi  di NAD Dalam konteks Aceh, ada dua permasalahan serius yang mengakibatkan konflik di Serambi Mekkah ini terus berkepanjangan dan selalu dihadapkan pada masyarakat sipil, yaitu : Pertama konflik bersenjata yang berkepanjangan dan Kedua perilaku pejabat pemerintah yang sangat korup. Selain persoalan keamanan, ternyata persoalan tidak berdayanya sistem hukum, lumpuhnya roda pemerintahan, praktek-praktek kolutif yang dilakukan oleh pelaku bisnis, perilaku pejabat pemerintahan sipil di Aceh yang korup dipandang harus segera diperbaiki. Hal ini menjadi penting, karena salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (baik di tingkat pusat maupun daerah) diyakini banyak kalangan diakibatkan oleh perilaku pejabat sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selain tidak konsisten dalam mendampingi masyarakatnya dengan baik juga sangat korup. Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah melahirkan semangat baru pembangunan yang lebih cerah. Hal tersebut setidaknya karena otonomi khusus dapat mendongkrak jumlah dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan secara otomatis kesempatan bagi perbaikan ekonomi masyarakat Aceh, terutama kelompok marginal, seharusnya meningkat. Akan tetapi, kenyataan-kenyataan manis tersebut tidak serta merta merembes ke masyarakat tingkat bawah. Terjadinya berbagai tidak penyimpangan dana-dana publik dan pembangunan di Provinsi ini, mengakibatkan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh tidak memberikan dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat Aceh secara luas. Statistik penyimpangan dana kemanusiaan yang jumlahnya mencapai ratusan milyar rupiah. Angka-angka ini hanyalah sebagian dari kondisi yang terbaca di balik realita konflik, belum lagi fakta-fakta yang tersebunyi di belakang meja birokrasi Pemerintah Daerah (PEMDA), seperti: Kasus penyimpangan dana Pertamina yang melibatkan anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, Penyimpangan dalam alokasi Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah (APBD), Kasus penyimpangan di Freeport Sabang, Mark Up Pembelian Heli Mi-2, Mark Up Pembelian Kapal Motor Pulau Weh, Mark Up pembelian Kapal Cepat Pulo Rondo, Penyimpangan Dana Pembelian Mesin Listrik (Genset) dan lain-lain. Di satu sisi, kebijakan pemerintah pusat dalam menangani permasalahan Aceh memang terkesan ambivalen, antara kebijakan dialogis yang selalu disebut-sebut oleh kalangan pengambil kebijakan, dengan realita di lapangan. Dan di sisi lain, pemerintah pusat terkesan tidak mengontrol dan cenderung membiarkan terjadinya penyimpangan di sektor makro (khususnya; aspek hukum dan ekonomi) atas kebijakan penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh. Padahal, kondisi umum Indonesia dan Aceh pada khususnya telah mengalami perubahan drastis. Selain dengan situasi yang sarat konflik dan tumbang-tindihnya managemen dari sistem yang berlaku, juga telah terjadi perubahan yang paradigmatik tentang beragam persoalan yang menimpa. Sebagai perumpamaan, jika dulunya muncul asumsi bahwa pergolakan yang muncul di beberapa daerah dapat diselesaikan melalui Otonomi (desentralisasi). Maka untuk saat ini, kebijakan tentang pelimpahan wewenang atas distribusi ekonomi dan politik (otonomi) belumlah dapat memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul. Melainkan, diperlukan managemen yang baik dan handal guna mengatur alur distribusi hingga menyentuh lapisan bawah (masyarakat). Karena, diakui atau tidak, kondisi dari penyalah-gunaan pengelolaan negara merupakan titik awal pemicu lahirnya konflik atau pergolakan-pergolakan selama ini. Jaminan  Akses Infomasi untuk Mengantisipasi KKN dalam Proses Rehabilitasi dan  Rekonstruksi di NANGGROE ACEH DARUSSALAM Kondisi Aceh semakin memprihatinkan, tatkala gempa bumi dan gelombang tsunami memporak-porandakan Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004, selain telah menghanyutkan ratusan ribu korban jiwa, tetapi juga telah mengundang perhatian dunia internasional secara serius. Tak heran, jika Sekjen PBB Kofi Annan dalam KTT di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2005 mengeluarkan pendapat bahwa untuk biaya makanan dan pembangunan pertanian dibutuhkan dana sekitar USD 29 juta, untuk pembangunan kesehatan diperlukan sekitar USD 122 juta, untuk kebutuhan air dan sanitasi sekitar USD 61 juta. Selanjutnya untuk biaya pembangunan perumahan dan kebutuhan lainnya dibutuhkan biaya USD 122 juta dan sekitar USD 110 juta untuk biaya restorasi dan perbaikan lingkungan masyarakat. Dalam konfrensi tersebut, Forum Negara ASEAN menyepakati memberikan bantuan darurat untuk korban tsunami, selain juga dalam proses rehabilitasi dan rekonstyruksi kawasan bencana sebesar USD 977 juta (sekitar Rp. 9 Trilyun). Lebih dari itu, khusus untuk membangun kembali Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, masyarakat internasional menjanjikan akan memberikan bantuan sebesar USD 3,5 Milyar. Begitu banyak dana yang mengalir ke Aceh, jika kita telusuri lebih jauh dari aneka fakta dan pengalaman angka penyimpangan yang pernah terjadi di Aceh, maka dapat diwaspadai praktek korupsi dan kolusi yang mungkin sangat berpotensi terjadi, baik yang dilakukan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah) maupun oleh aktor-aktor dari sektor swasta. Dan kemudian, rakyat banyak adalah korban utamanya. Karena itu, gerakan anti korupsi yang dilakukan di Aceh haruslah bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk mengimbangi kolaborasi pemerintah dan sektor swasta, dengan menjadikan transparansi dan akuntabilitas sebagai syarat mutlak dalam pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan hanya dengan cara itu reformasi kebijakan di bidang hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang mendukung pemerintahan yang bersih di Aceh dari mal-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dapat diwujudkan. Berdasarkan potensi kompleksitas permasalahan yang akan terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dipandang perlunya dilakukan sesegera mungkin upaya pendidikan dan pemberdayaan secara sosial dan politik dalam membentengi masyarakat korban tsunami dari prilaku yang dapat merugikan hak-haknya. Salah satu konsep yang dapat dilakukan dalam jangka waktu cepat ini adalah dengan memberikan pemahaman mengenai hak-hak korban tsunami dalam proses rekonstruksi dan diseminasi informasi mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah (seperti Blue Print) yang akan dilakukan dalam proses rekonstruksi tersebut, selain juga memperkuat jaringan masyarakat korban untuk secara bersama-sama melakukan pemantauan terhadap dana rekonstruksi dan rehabilitasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Upaya-upaya dini dan simultan ini diperlukan guna menjawab permasalahan yang sedang mendera, yaitu ; mencegah prilaku penyimpangan dalam pengelolaan dana bantuan, dan mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang transparan dan bersih dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme sebagai modal dasar dalam pembangunan Aceh pasca gempa bumi dan tsunami serta modal utama terwujudnya civil society. Pengalaman Masa Darurat Pasca terjadinya Tsunami, hampir 500 ribu orang mengungsi tersebar di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Di Banda Aceh sendiri pengungsi diperkirakan berjumlah lebih kurang 150.000 orang. Banyak program kegiatan yang dilaksanakan oleh NGO Nasional maupun internasional untuk menanggulangi persoalan pengungsi. Seperti pemenuhan kebutuhan bahan makanan, pakaian dan tempat tinggal sementara serta pemenuhan lapangan pekerjaan bagi pengungsi. Semua kegiatan tersebut hampir secara penuh melibatkan partisipasi pengungsi itu sendiri. Artinya hampir semua lini dalam kegiatan tersebut, melibatkan pengungsi. Namun persoalannya, pelibatan partisipasi pengungsi masih sangat rendah dari segi kualitas. Pengungsi lebih banyak dilibatkan hanya sebagai pekerja dan bukan sebagai pihak yang diikutsertakan dalam persoalan pengambilan keputusan atau kebijakan. Sebagai contoh, sampai saat ini belum ada kegiatan yang secara penuh melibatkan partisipasi pengungsi dalam melakukan pemantauan/monitoring dan evaluasi dana bantuan yang mereka terima. Padahal pengungsi adalah pihak yang sangat tahu tentang kondisi di lapangan atau di camp pengungsian mereka sendiri. Hal ini memang terkait dengan beberapa persoalan seperti tingkat pemahaman pengungsi yang sangat rendah atas hak-hak yang harus mereka terima dan dapatkan. Serta persoalan kapasitas pengungsi yang juga masih rendah dalam hal mengakses informasi dan pengetahuan tentang mekanisme dan strategi pemantauan serta pengawasan bantuan. Implikasi terhadap Pelayanan dan Pertanggungjawaban Kebijakan Publik Tertutupnya akses masyarakat terhadap informasi telah berdampak signifikan pada buruknya pelayanan publik dan rendahnya akuntabilitas Pemerintah Daerah berkolerasi positif dengan tingginya angka kebocoran dalam pengelolaan dana Publik di Nanggroe Aceh Darussalam, hal ini tidak terlalu sulit untuk dibuktikan, penelitian Bank Indonesia yang berkerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung menempatkan Ptrovinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai Provinsi yang paling korup di Indonesia ditinjau dari Pelayanan Publik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan hasil Audit Review Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh menemukan kebocoran dana Pembangunan APBD Tahun 2001 yaitu sebesar 43,64%. Bagaimana Seharusnya Dalam setiap pembuatan/pengambilan Kebijakan ada dua prinsip yang harus dipenuhi; Pertama, Prinsip Perspektif, di mana dalam setiap kebijakan haruslah memenuhi unsur : Orientasi pada kepentingan masyarakat dan keberpihakan pada masyarakat yang lemah dan terpinggirkan. Kedua, Prinsip Mekanisme Formal, prinsip ini haruslah memenuhi beberapa asas yaitu Partisipasi, Keadilan, Persamaan Hak, Transparansi, Supremsi Hukum dan Akuntable. Untuk mewujudkan hal di atas tentunya harus ada aturan main yang menjamin mekanisme bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi apa saja yang berhubungan dengan kepentingan publik dan juga adanya mekanisme jaminan atas partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan. Partisipasi yang kita maksud haruslah dimulai dari proses perencanaan hingga pertanggungjawaban, hal ini diperlukan guna menjamin terakomodirnya kepentingan masyarakat dalam setiap kebijakan dan juga akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan negara. Oleh karenanya Peraturan Qanun (Peraturan Daerah) tentang kemudahan menadapatkan informasi, Qanun (Peraturan Daerah) tentang Partisipasi Publik dan Qanun (Peraturan Daerah) tentang Badan Pemeriksa independen adalah kemutlakan di Provinsi NAD. Penutup Pemberlakuan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesungguhnya memberikan peluang lahirnya Peraturan Perundang-Undangan berupa Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur aspek-aspek yang berhubungan antara relasi pemerintah dengan masyarakat, oleh karenanya Qanun (Peraturan Daerah) memiliki peran yang strategi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas dari KKN atau juga qanun berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pilihan di atas sangat tergantung dari political will pemerintah daerah dan DPRD NAD, apakah para penyelenggara negara kita akan membawa kita kesistem pemerintahan yang lebih baik, transparan, partisipatif, akuntable dan berkeadilan atau sebaliknya.

© Airputih.or.id. All rights reserved.