Enam Bulan Bersama Teror Tsunami
    IND | ENG

Enam Bulan Bersama Teror Tsunami

By : Hana 28 Februari 2008 News Categori : Uncategorized

Kamis, 28 Pebruari 2008 05:25:35 Gempa Bengkulu Enam Bulan Bersama Teror Tsunami Kategori: Gempabumi (257 kali dibaca) Ahmad Zulkani Nyonya Marduani (38) dengan penuh kasih sayang menggerakkan ayunan bayi yang terbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan dan belum punya nama itu tengah tertidur pulas. Marduani dan keluarganya adalah salah satu keluarga di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, yang masih tinggal di bedeng dan tenda plastik karena rumahnya roboh akibat gempa 12 September 2007. Berkali-kali mereka dikejutkan guncangan gempa dan pengumuman ancaman tsunami yang meneror karena muncul tak kenal waktu. Dapur yang sempit dan sumpek tempat ayunan bayi tradisional itu tergantung makin terasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko, itu terbuat dari seng bekas. Sesekali, Marduani mengipasi bayi mungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. ”Sudah enam bulan lebih saya, suami, dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahir di lantai tanah beralaskan selembar plastik. Seandainya punya uang, mungkin sudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi, karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung dan buruh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tutur Marduani dengan nada terbata-bata. Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh di kebun orang. Jika beruntung, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp 15.000 sehari. ”Inilah penyambung hidup sekeluarga. Dua bulan pertama pascagempa tahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan beras 20 kg dan jatah hidup Rp 400.000. Kini, setelah enam bulan rasanya hidupnya semakin kabur. Esok pagi, entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani. Marduani tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, hanya sekitar 3 kilometer dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah (50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama: hidup di bawah tenda plastik, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong. Jika datang semburan angin pantai di malam hari, penghuninya akan tersiksa karena angin seperti menusuk tulang. Bahkan, jika merujuk data posko Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 rumah warga rusak berat—sebagian besar dalam kondisi roboh rata tanah—akibat gempa tahun lalu. Itu artinya, ada sekitar 1.430 keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di reruntuhan rumah sendiri. Menurut Basril, belum hilang derita, trauma, dan ketakutan akibat gempa yang terjadi enam bulan lalu, hari Senin petang lalu daratan Mukomuko kembali diguncang gempa berkekuatan 7,2 skala Richter. ”Hidup di bawah terpal plastik ketika musim gempa seperti sekarang ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluarga tidak perlu lagi lari ke luar karena tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketika gempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril. Kondisi yang amat menyiksa juga dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui, rumah semipermanen dengan tiga kamar miliknya rata tanah akibat diguncang gempa tahun lalu. ”Yang tersisa hanya WC dan sumur,” ujarnya. Untuk makan saja, ia harus mengutang dulu sambil menunggu panen jagung sehingga hampir tak mungkin membangun rumah baru. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidak sakit, Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitipkan anaknya tidur di rumah tetangga. ”Kalau kami, ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal ini berbulan-bulan karena kalau ikut menumpang pasti memberatkan. Namun, kalau hujan deras karena atap plastik bocor, kami pun terpaksa mengungsi tidur di rumah sebelah yang masih utuh,” kata Dasminah. Tidak kerasan Betahkah Basril, Dasminah, Marduani, dan ribuan korban gempa di Mukomuko terus bertahan di bawah terpal plastik dan bangunan darurat? Kalau dibilang tak betah, buktinya mereka bertahan di sana sampai sekarang. Setelah ditelusuri, sebenarnya mereka tidak kerasan. Semua karena keterpaksaan. Mereka mengaku tidak punya uang lebih dan tidak mampu membangun kembali rumah karena sebagian besar korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin. Ketika gempa terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga hanyalah segera dikucurkan dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) seperti yang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 5 juta untuk rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yang roboh. ”Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan dana bantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sebulan lalu warga disuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, tega-teganya mengumbar janji dan kemudian membiarkan rakyat hidup menderita di bawah tenda plastik yang sudah bocor,” tutur Basril. Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untuk mendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis seperti sekarang. ”Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan,” ujarnya. Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko, Selasa lalu, menyatakan, Satlak PBP dua hari lalu baru menerima kucuran dana perbaikan rumah bagi warga sebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk membangun kembali rumah para korban gempa terlambat sampai di kabupaten karena mengendap tiga bulan di Kantor Pemprov Bengkulu. ”Dalam minggu ini, bantuan pusat itu akan segera dibagikan. Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya. Bagaimana pun kucuran bantuan kemanusiaan paling tidak bisa sedikit mengobati trauma warga Mukomuko, yang sejak beberapa hari belakangan masih diteror gempa dan tsunami.((*))   Sumber: kompas

© Airputih.or.id. All rights reserved.