Bencana dan Kelalaian Manusia
    IND | ENG

Bencana dan Kelalaian Manusia

By : Hana 06 Oktober 2007 News Categori : Uncategorized

Sabtu, 06 Oktober 2007 21:30:42 Bencana dan Kelalaian Manusia Kategori: Umum (289 kali dibaca) (Menyongsong Hari Penanganan Bencana Internasional 13 Oktober 2007) RP Borrong Sering kita keliru memahami bencana. Kalau ada kejadian alam seperti gempa bumi atau gunung meletus, kita langsung menyebutnya bencana. Para ahli kebencanaan mengingatkan, bencana mestinya dipahami sebagai akibat yang dialami manusia karena suatu kejadian alam dan bukan kejadian alam itu sendiri (Frederick C Cuny, 1983, Disaster & Development). Kejadian alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, baru disebut bencana kalau membawa akibat tertentu bagi manusia. Misalnya ada korban meninggal, atau kerusakan bangunan yang menyebabkan kerugian. Dilihat dari sudut pandang itu, sebenarnya yang disebut bencana alam adalah bencana yang disebabkan ketidakmampuan manusia membaca gejala-gejala alam. Bisa juga bencana terjadi karena kelalaian manusia. Yang kedua ini bisa dikategorikan tindak kriminal atau kejahatan karena ada faktor kelalaian dan kesengajaan. Anak kecil yang bermain api dan menyebabkan kebakaran mungkin bisa disebut bencana karena ia belum mengerti bahaya dari api. Tetapi seorang dewasa yang menyebabkan kebakaran hutan karena kelalaiannya dapat disebut sebagai kesengajaan, karenanya dikategorikan tindak kriminal. Sampai saat ini perdebatan tentang bencana yang disebabkan semburan lumpur di Sidoarjo masih kontroversial. Memang sudah dikategorikan sebagai bencana karena banyak korban manusia dan materi, tetapi perlu hati-hati menelusuri penyebabnya. Di sana ada aspek kelalaian manusia dan mungkin juga aspek kejahatan. Terjadinya bencana di Indonesia sebagian mestinya dikategorikan tindakan kelalaian manusia, bukan sekadar ketidakmampuan manusia membaca gejala alam. Masyarakat yang tinggal di lereng gunung berapi mestinya tahu tidak boleh tinggal di daerah tersebut. Kalau ada letusan gunung dan mereka menjadi korban, mereka tidak bisa disebut sebagai korban, karena ada unsur kelalaian dan kesengajaan yaitu membiarkan diri menjadi korban. Pengetahuan manusia tentang gejala dan kejadian alam sudah semakin maju. Mestinya bencana yang disebabkan kejadian lama tidak perlu terjadi. Hal sama terjadi pada perusahaan yang sengaja, atau karena kelalaian, merusak lingkungan hidup sehingga menyebabkan bencana bagi masyarakat di sekitarnya, seperti terjadi di Sidoarjo. Penanganan Bencana Kita sudah sangat sering mendengar bencana yang diakibatkan kelalaian dan juga kesengajaan perusahaan tertentu membuang limbah dan membawa kerugian bagi masyarakat. Juga sering mendengar perusahaan tertentu menyebabkan kebakaran hutan akibat cara membersihkan lahan usaha dengan membakar. Kebakaran hutan selama ini terjadi sebagian disebabkan kelalaian dan kesengajaan manusia. Hal-hal seperti itu harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat demi meningkatkan usaha penanganan bencana di Indonesia. Memang harus diakui teknologi pendeteksi bencana di Indonesia masih kurang. Namun demikian, masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa atau gunung api aktif mestinya tahu selalu diintai bahaya. Dalam hal itu, tugas pemerintah daerah dan pemerintah pusat memukimkan rakyat di daerah yang aman. Masyarakat dan pemerintah daerah mestinya bisa melakukan upaya-upaya menghindari bencana atau mencegah terjadinya bencana dari kejadian alam. Misalnya, bencana akibat tsunami bisa dicegah dengan menanam dan memelihara hutan mangrove di pantai, yang menjadi pembatas antara permukiman dan laut. Penanganan bencana di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada penanganan akibat, belum pada pencegahan. Memang usaha-usaha pencegahan dilakukan, namun belum benar-benar didasari pemahaman sebenarnya. Penanggulangan bencana pertama-tama harus dilakukan terhadap manusia, yaitu masyarakat yang dekat dengan alam yang dapat menyebabkan bencana. Jakarta, contohnya, rentan bencana karena kejadian alam seperti banjir dan kebakaran bisa menjadi sumber bencana potensial. Pencegahannya bukanlah sekadar menyiapkan pemadam kebakaran atau perahu karet untuk mengevakuasi warga saat banjir datang, tetapi bagaimana mendidik warga agar tidak menjadi penyebab terjadinya banjir dan kebakaran, juga bisa menghindar kalau semuanya terjadi. Secara keseluruhan Undang-Undang Kebencanaan sudah mencakup semua hal yang dapat dilakukan. Namun, prioritas dalam penanganan masih berkutat pada akibat, belum pada pencegahan. Warga belum disiapkan untuk mencegah bencana. Yang disiapkan, menolong warga yang terkena bencana. Manajemen kebencanaan harus lebih memprioritaskan pencegahan daripada penanganan. Untuk itu program-program penanggulangan bencana tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Kebijakan pembangunan yang sangat sentralistis di kota-kota besar menyebabkan urban menjadi tempat menarik walaupun kumuh. Kalau kebijakan pembangunan yang merangsang urbanisasi terus dibiarkan, artinya penanganan bencana yang tiap tahun melanda hunian kumuh di kota-kota sengaja dipelihara. Kebijakan pembangunan, khususnya kebencanaan, dengan demikian, harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana dengan belajar dari kesalahan kebijakan pembangunan masa lalu. Masyarakat yang turut dalam menanggulangi bencana juga harus melakukannya dengan pendekatan multidimensi. Menanggulangi bencana dengan sekadar menangani akibat, tidak akan menyentuh pokok persoalan kebencanaan yang dihadapi masyarakat. Pengalaman menangani bencana di beberapa tempat di Indonesia semakin meyakinkan kita bencana tidak bisa hanya ditanggulangi akibatnya tetapi harus diatasi penyebabnya. Kewajiban Moral Menarik mengamati apa yang dilakukan Yayasan Tanggul Bencana Indonesia. Yayasan itu berusaha ikut menangani korban bencana di berbagai tempat. Namun demikian makin disadari menanggulangi bencana tidak efektif kalau difokuskan pada akibat dan bukan pada penyebab. Karena itu sambil terus berusaha menolong dengan memberikan bantuan emergency dan livelihood, capacity building dalam rangka kewaspadaan bencana menjadi fokus kegiatan di berbagai tempat yang rentan bencana karena gejala-gejala alam. Di Aceh Singkil, bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah daerah, Yayasan itu melakukan proyek percontohan menanam hutan mangrove (bakau) yang ternyata direspons positif masyarakat. Di Maluku, Papua, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Nias, Mentawai, dan daerah lainnya, program penanggulangan bencana mulai difokuskan pada capacity building untuk menolong masyarakat agar waspada terhadap bencana. Di mana pun masyarakat hidup, ancaman bencana dari kejadian alam ataupun konflik sosial selalu bersifat potensial. Karena itu setiap orang harus menyadari dan berusaha keras mencegah terjadinya bencana dari kejadian-kejadian alam maupun konflik sosial. Kesiapsiagaan masyarakat itulah yang seharusnya menjadi fokus manajeman atau pananganan bencana secara nasional. Terlebih bagi Indonesia yang rawan bencana, kebijakan pembangunan harus benar-benar fokus pada pencegahan bencana dan bukan sekadar pada penanganan korban bencana. Keuntungan dari fokus seperti ini sangat besar. Dengan fokus pada pencegahan potensi bencana akan jauh berkurang karena masyarakat secara bersama dengan kesadaran sendiri mencegah dan meminimalkan kemungkinan terjadinya bencana. Dari segi biaya, juga akan sangat menghemat biaya yang seharusnya dikeluarkan menangani akibat bencana. Selain itu, dalam konteks Indonesia yang belum banyak memiliki peralatan teknologi peringatan dini bencana tidak harus repot terus membeli peralatan yang sangat mahal. Sebagai negara yang rentan bencana, merupakan suatu kehormatan bangsa kalau kita tidak perlu merepotkan dunia internasional apabila terjadi gempa bumi atau gunung meletus. Bencana harus bisa dicegah atau diminimalisasi oleh anak bangsa sendiri. Walaupun ada gejala alam yang menyebabkan bencana yang tidak bisa dihindari, tetaplah harus dimaksimalkan atau dioptimalkan upaya pencegahan yang bersifat massal. Kita tentu dapat menjadikan bencana sebagai salah satu sarana membangun solidaritas kemanusiaan internasional dan global, namun demikian pencegahan bencana merupakan kewajiban moral bangsa sendiri. Terlebih kita harus malu, kalau ternyata dana-dana penanggulangan bencana masih dikorupsi oknum tertentu. Kita telah memiliki undang-undang penanggulangan bencana dan kita juga telah memiliki suprastrukturnya. Tinggal kita memfokuskan sehingga penanganan bencana menunjukkan kedewasaan dan kemandirian serta harga diri bangsa. Penulis adalah teolog yang mendalami etika lingkungan((*))   Sumber: suarapembaruan

© Airputih.or.id. All rights reserved.